Pilkada makassar: antisipasi terhadap potensi golput

Pemilihan umum menjadi salah satu indikator stabil dan dinamisnya demokratisasi suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pemilu memang secara periodik sudah berlangsung sejak awal-awal kemerdekaan bangsa ini, akan tetapi proses demokratisasi lewat pemilu-pemilu yang terdahulu belum mampu menyemai nilai-nilai demokrasi yang matang akibat sistem politik yang otoriter. Harapan untuk menemukan format demokrasi yang ideal mulai nampak setelah penyelenggaraan pemilu 2004 lalu yang berjalan relatif cukup lancar dan aman. Untuk ukuran bangsa yang baru beberapa tahun lepas dari sistem otoritarian, penyelenggaraan pemilu 2004 yang terdiri dari pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindakan kekerasan dan chaos menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa ini . Tahapan demokrasi bangsa Indonesia kembali diuji dengan momentum pemilihan kepala daerah langsung yang telah berlangsung sejak 2005. Meskipun sebagian masyarakat masih skeptis dengan Pilkada langsung ini terutama ketidaksiapan materi dan infrastruktur, namun demikian momentum pilkada idealnya dijadikan sebagai proses penguatan demokratisasi.



Sejatinya agenda ke depan bangsa ini tidak bisa lepas dari upaya penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses yang demokratik. Catatan ini penting mengingat karakter dan kamampuan berdemokrasi rakyat masih sangat lemah, sementara secara factual, rakyat sebenarnya hidup di ruang yang sangat terbuka. Persoalan mendasar adalah rakyat hidup di tengah demokratisasi yang mulai terbuka lebar pasca lengsernya Soeharto yang kemudian diiringi oleh kebebasan partisipasi yang luar biasa, akan tetapi belum diiringi oleh kematangan mental dan sikap dalam berdemokrasi. Kebebasan berpolitik, tidak ditopang oleh rasionalitas, daya kritis, dan kemandirian berpikir dan bersikap. Padahal nilai utama yang diusung oleh demokrasi adalah terbukanya ruang-ruang politik rasional dalam diri setiap rakyat. Kebebasan yang tidak didasari oleh rasionalitas politik akhir-akhir ini sangat nampak dalam upaya penguatan kekuasaan pada aras politik lokal. Peluang konflik politik dalam perebutan kekuasaan akan meningkat seiring ditetapkannya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung mulai tahun 2005. Di tengah belum menguatnya kesadaran politik di level grass root, maka momentum Pilkada menjadi pertarungan politik yang selalu membuka ruang potensi konflik, manipulasi, money politics, dan intimidasi.



Dalam konteks penguatan demokratisasi, pilkada langsung sebenarnya berpeluang untuk melakukan pematangan dan penyadaran berdemokrasi. Rakyat yang memiliki kesadaran berdemokrasi adalah langkah awal dalam menuju lajur demokrasi yang benar. Sebagaimana disampaikan Murray Print (1999), pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education). Aktualisasi dari civic education sebenarnya terletak kepada tingkat partipasi politik rakyat di setiap momentum politik seperti pemilu. Partisipasi politik yang lemah berakibat pada sebuah realitas politik yang kini menggejala di permukaan dan terkait dengan era otonomi daerah yaitu terjadinya kesenjangan politik antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan lokal, di mana aktor pelaksana kekuasaan lokal (baik unsur birokrasi maupun legislatif) sering melakukan langkah pengambilan dan pelaksanaan kebijakan politik yang tidak selaras dengan aspirasi kolektif masyarakat sipil. Lembaga kekuasaan politik lokal yang sebagian besar didominasi kalangan partai politik peraih suara Pemilu 2004 yang lalu sering kali tidak mampu menjalankan fungsi keterwakilan politik dan kurang optimal dalam peran sebagai pelayan aspirasi public. Seberapa jauh Pilkada selama ini memberi ruang partipasi politik bagi rakyat ? apakah pilkada mampu menjadi titik persinggungan rakyat dan Negara sebagai manipestasi partisipasi politik rakyat ?



Pilkada : Partisipasi atau euphoria Politik ?



Dalam konteks Negara, partisipasi politik rakyat adalah keterlibatan rakyat secara perseorangan (privat citizen) untuk mengerti, menyadari, mengkaji, melobi dan memprotes suatu kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan mereka. Dari ilustrasi di atas, partisipasi rakyat bisa dipahami sebagai keterlibatan rakyat dalam pengertian politik secara sempit---hubungan Negara dan masyarakat (dalam bingkai governance)-dan juga politik secara luas—semua bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses berhimpun untuk mempengaruhi ataupun melakukan perubahan terhadap keputusan yang diambil partisipasi politik rakyat sebetulnya adalah tema sentral dari proses demokratisasi. Dalam kerangka inilah masyarakat bisa berperan sebagai subyek dalam menentukan arah masa depan society-nya.



Di Indonesia perdebatan tentang partisipasi politik hanya terbatas pada angka tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap pemilihan umum. Sebelum reformasi bergulir, angka itu selalu berada pada kisaran 90 persen, maka dengan mudah orang akan menyebut bahwa partisipasi politik masyarakat tinggi. Tapi sebetulnya bukan itu, atau tepatnya bukan satu-satunya ukuran tentang tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Yang lebih penting adalah adanya jaminan dan mekanisme yang baku, dan comfortable bagi semua rakyat untuk dapat menyalurkan pikiran-pikirannya kedalam sebuah institusi formal. Satu peran rakyat yang amat penting adalah melakukan social control terhadap pemerintah, maupun institusi-insitusi lain seperti DPR ataupun peradilan. Secara kasat mata mungkin bisa kita mengatakan bahwa partisipasi politik masyarakat akhir-akhir ini meningkat. Intensitas demo yang makin marak, interaktif TV dan radio yang makin mendominasi program-program massa, serta meningkatnya keterlibatan publik dalam perdebatan tentang satu wacana tertentu. Tapi apakah semua kondisi yang disebutkan tadi sudah memberikan jaminan bahwa partisipasi politik sudah benar-benar terjadi?



Ternyata tidak. Akhir-akhir ini partisipasi politik pada pilkada cenderung menurun. Sejatinya, penyelenggaraan pilkada menjadi momentum untuk memperkuat partisipasi politik rakyat, tidak hanya sekedar menjadikan pilkada sebagai euphoria politik semata. Dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung ini berarti partisipasi politik rakyat akan lebih efektif . Namun, evaluasi pilkada 2006-2008 yang telah berlangsung selama ini menunjukkan betapa partisipasi politik masih cukup rendah dalam Pilkada. Beberapa hasil Pilkada yang menunjukkan rendahnya partisipasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini;



Daerah


Persentase Tidak Memilih

Kota Medan


45.32%

Prov. Sumbar


36.28%

Bengkulu


30.27%

Kota Depok


40.23%

Kota Pekalongan


36.49%

Blitar


46, 34 %

Kota Surabaya


48.59%

Kota Makasar


46,45 %

Prov Sumut


48, 42%

Prov Jabar


32, 7%



Dari hasil pemantauan penulis di beberapa daerah yang melaksanakan pilkada menunjukkan beberapa pemicu rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada: Pertama, masyarakat secara sadar dan mandiri untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan pertimbangan yang didasari sikap apatis, yakni mereka meyakini bahwa para calon yang bertarung tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka.



Selain itu, mereka menyadari bahwa mencoblos dan tidak mencoblos memiliki makna yang sama, yakni tidak memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam kehidupan mereka. Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada, diakibatkan persoalan tekhnis dalam pilkada. Dalam hal ini, penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul memicu tingginya jumlah warga yang tidak terdaftar di DPT sehingga menggurkan hak mereka sebagai pemilih. Persoalan DPT selama pelaksanaan pilkada menjadi masalah krusial yang sepertinya tidak memiliki solusi. Sebab serangkaian pilkada sudah berlangsung, masalah DPT yang tidak akurat tetap menyisakan persoalan rendahnya partisipasi pemilih. Pilkada di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Sumatera Utara menjadi contoh yang paling mutakhir. Ketiga, partisipasi juga dipengaruhi oleh kepentingan individual pemilih. Dalam hal ini, banyak pemilih yang lebih mendahulukan dan memprioritaskan kebutuhan individualnya; pergi ke sawah, masuk kerja bagi buruh pabrik atau tidak mudik bagi yang merantau daripada pergi ke TPS untuk mencoblos.



Tantangan mendesak adalah menjadikan Pilkada sebagai bentuk artikulasi politik rakyat yang rasional dan kritis. Inilah esensi dari partipasi politik rakyat. Selama proses Pilkada masih didominasi oleh elit-elit partai politik yang bermental korup, maka rakyat akan merasakan pilkada sebagai euphoria semata. Selain itu, pilkada akan menjadi euphoria ketika praktek manipulasi, money politik dan kekerasan politik masih berlangsung. Oleh karena itu rakyat hendaknya diberikan kemerdekaan untuk menentukan pilihannya.



Rakyat harus mampu menentukan hak-hak politiknya secara sadar dan bertanggung jawab. Sebagai proses yang baru dan meniscayakan kehidupan demokratis yang lebih beradab, maka pilkada harus mampu dipahami sebagai suatu proses yang penuh dengan dinamika. Selain itu, kesiapan tekhnis yang selama ini menjadi domain pemerintah dan KPUD pada persoalan pendataan pemilih harus segera ditingkatkan supaya hak warga memilih tidak hilang secara percuma. Mungkin itu.

0 komentar:

Post a Comment