Pilkada makassar waspadai GOLPUT: refleksi atas berbagai Pilkada

Tingginya angka golput dalam pilkada itu disebabkan oleh macam-macam faktor. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat, penyebab paling dominan adalah proses pendaftaran pemilih yang amburadul. Persoalan dasarnya ada pada data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang dibuat pemerintah. DP4 itu diserahkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kepada KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Selanjutnya KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota memverifikasi data itu, kemudian menyusun daftar pemilih sementara (DPS). Ternyata, banyak DP4 yang diserahkan itu tidak valid. Berkali-kali, data itu dikembalikan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, tetapi tidak ada perbaikan signifikan.

Akibatnya, kata Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow, data fiktif masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena data dasarnya saja sudah kacau. Maka, tidak heran kalau angka orang yang tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi. Bahkan di hampir setiap tempat pemungutan suara (TPS), jumlah angka fiktif itu mencapai 50 persen.

Jeirry mencontohkan dalam pilkada Jawa Timur, berdasarkan pemantauan JPPR di Kabupaten Banyuwangi, ada sebuah TPS yang seluruh pemilihnya fiktif. Orang-orang yang terdaftar sebagai pemilih tetap ternyata sudah lama pindah, ada yang sudah meninggal, dan sedang ke luar kota. Akibatnya, tidak satu pun pemilih yang memberikan suara di TPS itu. Yang memilih di situ hanya petugas TPS.

Contoh lain, dalam pilkada di Sumatera Utara. Jeirry menemukan tumpukan kartu pemilih yang tidak terbagi. "Artinya kan orang-orang itu tidak mungkin memilih," ujarnya.

Jeirry yakin, bila data awalnya akurat, maka DPS dan DPT juga akan akurat. Pada akhirnya, tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada juga akan tinggi.

Meski demikian, dia juga mengakui adanya faktor apatisme dari masyarakat terhadap pilkada. Tetapi, menurut dia, persentasenya sangat kecil.

Kesaksian yang sama juga disampaikan mantan anggota KPU Mulyana W Kusumah. Berdasarkan pembicaraannya dengan sejumlah anggota KPU provinsi, disimpulkan bahwa tingginya angka golput dalam pilkada karena proses pendataan pemilih yang amburadul. Dan itu semua berawal dari data yang diserahkan pemerintah ke KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Apalagi, metode pendaftarannya menggunakan sistem daftar pemilih aktif, di mana masyarakat sendiri yang aktif bertanya dan mendaftarkan diri sebagai pemilih, bila belum tercantum dalam DPS. Sementara itu, petugas sifatnya pasif menunggu.

Sistem ini, kata Mulyana, turut menyumbang tingginya angka golput. Sebab, masyarakat yang sudah jenuh, masa bodoh, dan apatis, dengan seluruh proses pemilu, tidak terbantu untuk terdaftar sebagai pemilih.

Sedangkan, HM Darwis, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyatakan seseorang yang tak menggunakan hak suara, tidak selalu berarti golput. Penyebabnya, justru bersumber dari kelalaian pemerintah saat melakukan pendataan pemilih.

"Ada orang mau memilih tetapi namanya tak terdaftar, ada yang namanya terdaftar tetapi orangnya tidak ada, bahkan ada yang sudah meninggal. Semua itu bersumber dari ketidakakuratan data dari Dinas Kependudukan kabupaten dan kota," ujarnya.

Pemilu 2009

Tingginya angka golput pada hampir seluruh pilkada di Indonesia itu, potensial terjadi lagi pada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden 2009. Jeirry melihat, proses pendaftaran pemilih untuk pemilu 2009 tidak beda dengan proses pendataan pemilih dalam pilkada di berbagai daerah itu. KPU mendasarkan diri pada data yang diserahkan pemerintah. Sementara data itu tidak valid. Padahal, data pemerintah itu menjadi penentu valid-tidaknya data pemilih sementara dan pemilih tetap yang akan dibuat KPU.

"Kalau kita tanya ke KPU, mereka bilang data yang diterima dari Depdagri tidak valid. Tetapi kan KPU kita ini tidak mau ngomong itu ke publik," kata Jeirry.

Belum lagi sosialisasi KPU tentang pendaftaran pemilih, sampai saat ini masih sangat sepi. Tidak ada gaungnya sama sekali. Masyarakat tidak mendapat informasi sepotong pun tentang bagaimana, di mana, dan kapan masyarakat harus mendaftarkan diri sebagai pemilih untuk Pemilu 2009. Padahal, pengumunan DPS tidak lama lagi diumumkan. "Nah, coba kita tanya masyarakat, siapa yang tahu sedang melakukan pendataan pemilih, pasti tidak ada yang tahu. Apalagi sosialisasi KPU tidak ada sama sekali. Sementara waktu perbaikan DPS oleh masyarakat hanya satu minggu," tuturnya.

Dengan dua fakta itu saja, baik Jeirry maupun Mulyana, menyimpulkan bahwa angka golput pada pemilu 2009 akan sangat tinggi. Kecuali, kalau KPU cepat sadar dan segera membenahi sistem pendataan pemilih dan mengintensifkan sosialisasi. Bila masih seperti saat ini, kesimpulan seperti itu akan valid.

Senada dengan mereka, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Imam Suprayogo memprediksi golput akan mencapai lebih dari 35 persen pada Pemilu 2009, jika semua pihak tidak menyosialisasikan pemahaman pentingnya pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Sosialisasi itu bukan hanya dengan berpidato, namun dengan teladan. "Kalau mayoritas rakyat merasa pemilu itu memilih pejabat, dapat diprediksi golput akan menggelembung, karena mereka merasa aneh, pejabat kok dipilih. Beda lho kalau rakyat diminta memilih pemimpin. Tanpa diminta, mereka pasti datang berbondong-bondong, karena mereka memang butuh pemimpin, bukan butuh pejabat," ujarnya.

Untuk menekan golput, semua pihak, baik pemerintah, KPU, partai politik, serta seluruh elemen masyarakat sipil, harus bekerja keras. KPU harus gencar melakukan sosialisasi dam memastikan bahwa semua pemilih sudah terdaftar dalam DPS. Karena itu, KPU jangan lagi menggunakan sistem daftar pemilih aktif. Sebab di tengah situasi rakyat yang mengalami kejenuhan politik, sistem seperti itu tidak berjalan. Petugas KPU harus aktif mendatangi masyarakat, kapan dan dimana pun mereka berada.

Selain itu, partai politik juga harus memobilisasi pendukungnya untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Partai politik harus memastikan konstituen dan masyarakat pada umumnya terdaftar sebagai pemilih. Apalagi, dalam undang-undang yang baru, diatur bahwa DPS sebelum ditetapkan sebagai DPT harus diserahkan ke partai politik peserta pemilu. Dengan aturan seperti itu diharapkan, bila dalam DPS ada konstituen partai yang belum terdaftar, partai politik bersangkutan segera melapor ke petugas KPU untuk kemudian didaftarkan sebagai pemilih. Apalagi, pengurus partai politik itu ada sampai tingkat kecamatan.

Hanya dengan memperbaiki DP4, sosialisasi yang gencar, mengubah sistem pendaftaran pemilih oleh KPU, pendidikan politik dan mobilisasi masyarakat dan konstituen oleh partai politik peserta pemilu serta oleh berbagai elemen masyarakat sipil lainnya agar terdaftar sebagai pemilih, maka partisipasi pemilih pada Pemilu 2009 bisa meningkat, dibanding pilkada-pilkada di seluruh Indonesia, terutama pilkada di Jawa. Usaha-usaha seperti itu diharapkan mampu menggairahkan masyarakat Makassar terlibat dalam pesta-pesta demokrasi khususnya pilkada, sekaligus dapat menekan angka golput pada pilkada nanti. Semoga

0 komentar:

Post a Comment