ASURANSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian Asuransi
Secara umum
kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Insurance” yang artinya “
jaminan”. Kata asuransi diambil juga dari bahasa Belanda “assurantie
(asuransi)”, yang dalam hukum Belanda disebut dan “verzekering” yang
artinya “pertanggungan”. Dalam istilah bahasa idonesia kata asuransipun
memiliki arti “tanggungan” atau
“pertanggungan”, Sedangkan menurut istilah ialah perjanjian pertanggungan
bersama antara dua orang atau lebih. Pihak yang satu akan menerima pembayaran
tertentu bila terjadi suatu musibah, sedangkan pihak yang lain (termasuk yang
terkena musibah) membayar iuran yang telah ditentukan waktu dan jumlahnya.
Adapun tujuan
asuransi secara umum adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan bersama melaui
semacan iuran yang dikoordinir oleh penanggung (asuransi).
B. Pengertian Asuransi Dalam Islam
Dalam menerjemahkan istilah asuransi
ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful
(bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa
Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain
yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam
prakteknya istilah yang paling populer digunakan sebagai istilah lain dari
asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia
adalah istilah takaful
Istilah takaful
dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalu-takaful
yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak
dijumpai dalam Al-Qur’an, namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan
kata takaful, seperti misalnya dalam QS. Thaha (20): 40 “… hal adullukum
‘ala man yakfuluhu…”. Yang artinya ”… bolehkah saya menunjukkan
kepadamu orang yang akan memeliharanya (menanggungnya)?…”
Apabila kita
memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful
dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di
antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung
atas risiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful
berkaitan dengan unsur saling menanggung risiko di antara para peserta
asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya.
C. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syari”ah
Ø ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang
dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
- Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang diasuransikan.
- Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
- Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
·
Akad asuransi ini adalah akad idz’an
(penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang
menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung
Ø ASURANSI SYARI’AH
A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu
dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
·
Asuransi
syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling
menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT
berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan
jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
·
Asuransi
syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
·
Sumbangan
(tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya
ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
·
Setiap
anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus
disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari
uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat
memerlukan.
·
Tidak
dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia
mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia
diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan
oleh jamaah.
·
Apabila
uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki
beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
·
Akad
asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak
boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan
akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan
diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan
tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil
mudhorobah bukan riba.
·
Akad
asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua
belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan
untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut
didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau
pengurus yang ditunjuk bersama).
·
Dalam
asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan
aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
·
Akad
asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
·
Asuransi
syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat
yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
·
Tumbuhnya
rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
·
Implementasi
dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
·
Jauh
dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
·
Secara
umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita
satu pihak.
·
Juga
meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan
dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu,
dan biaya.
·
Pemerataan
biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan
tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya
tidak tertentu dan tidak pasti.
·
Sebagai
tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat
terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
·
Menutup
Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat
berfungsi(bekerja).
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi
konvensional.
A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi
syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara
asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
·
Akad
kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
·
Kedua-duanya
memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
·
Kedua
asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
·
Kedua-duanya
berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi
syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan
mendasar dalam beberapa hal.
·
Keberadaan
Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu
keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan
investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi
konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
·
Prinsip
akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang
satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad
asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan
perusahaan).
·
Dana
yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan
berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada
asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan
sistem bunga.
·
Premi
yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi
konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki
otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
·
Untuk
kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana
sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong
bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional,
dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
·
Keuntungan
investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan
selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi
konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada
klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek
muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya
penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
,
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah Wal Ifta [Komite Tetap Untuk Riset
Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia] mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
“Asuransi
ada dua macam. Majlis Hai’ah Kibaril Ulama telah mengkajinya sejak beberapa
tahun yang lalu dan telah mengeluarkan keputusan. Tapi sebagian orang hanya
melirik bagian yang dibolehkannya saja tanpa memperhatikan yang haramnya, atau
menggunakan lisensi boleh untuk praktek yang haram sehingga masalahnya menjadi
tidak jelas bagi sebagian orang.
Asuransi kerjasama (jaminan sosial) yang dibolehkan, seperti
; sekelompok orang membayarkan uang sejumlah tertentu untuk shadaqah atau
membangun masjid atau membantu kaum fakir. Banyak orang yang mengambil istilah
ini dan menjadikannya alasan untuk asuransi komersil. Ini kesalahan mereka dan
pengelabuan terhadap manusia.
Contoh asuransi komersil : Seseorang mengasuransikan
mobilnya atau barang lainnya yang merupakan barang import dengan biaya sekian
dan sekian. Kadang tidak terjadi apa-apa sehingga uang yang telah dibayarkan
itu diambil perusahaan asuransi begitu saja. Ini termasuk judi yang tercakup
dalam firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan” [Al-Maidah : 90]
Kesimpulannya, bahwa asuransi kerjasama (jaminan bersama/jaminan
social) adalah sejumlah uang tertentu yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh
sekelompok orang untuk kepentingan syar’i, seperti ; membantu kaum fakir,
anak-anak yatim, pembangunan masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Berikut ini kami cantumkan untuk para pembaca naskah fatwa
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset
Ilmiyah dan Fatwa) tentang asuransi kerjasama (jaminan bersama).
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga dan
sahabatnya, amma ba’du.
Telah dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril Ulama
tentang haramnya asuransi komersil dengan semua jenisnya karena mengandung
madharat dan bahaya yang besar serta merupakan tindak memakan harta orang lain
dengan cara perolehan yang batil, yang mana hal tersebut telah diharamkan oleh
syariat yang suci dan dilarang keras.
Lain dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah mengeluarkan
keputusan tentang bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama) yaitu terdiri
dari sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu orang-orang yang
membutuhkan dan tidak kembali kepada anggota (para donatur tersebut), tidak
modal pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan anggota adalah
pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang yang membutuhkan
bantuan, dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. Hal ini termasuk dalam
cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]
Dan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan Allah akan
menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya” [Hadits Riwayat Muslim, ]
Ini sudah cukup jelas dan tidak ada yang samar.
Tapi akhir-akhir ini sebagian perusahaan menyamarkan kepada
orang-orang dan memutar balikkan hakekat, yang mana mereka menamakan asuransi
komersil yang haram dengan sebutan jaminan sosial yang dinisbatkan kepada fatwa
yang membolehkannya dari Ha’iah Kibaril Ulama. Hal ini untuk memperdayai orang
lain dan memajukan perusahaan mereka. Padahal Ha’iah Kibaril Ulama sama sekali
terlepas dari praktek tersebut, karena keputusannya jelas-jelas membedakan
antara asuransi komersil dan asuransi sosial (bantuan). Pengubahan nama itu
sendiri tidak merubah hakekatnya.
Keterangan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan
penjelasan bagi orang-orang dan membongkar penyamaran serta mengungkap
kebohongan dan kepura-puraan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabat.
Kemudian,
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat sebagai berikut :
“Asuransi
konvensional tidak boleh hukumnya berdasarkan syari’at, dalilnya adalah firmanNya
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu
dengan jalan bathil” [Al-Baqarah : 188]
Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah memakan harta-harta
para pengasuransi (polis) tanpa cara yang haq, sebab (biasanya) salah seorang
dari mereka membayar sejumlah uang per bulan dengan total yang bisa jadi
mencapai puluhan ribu padahal selama sepanjang tahun, dia tidak begitu
memerlukan servis namun meskipun begitu, hartanya tersebut tidak dikembalikan
kepadanya.
Sebaliknya pula, sebagian mereka bisa jadi membayar dengan
sedikit uang, lalu terjadi kecelakaan terhadap dirinya sehingga membebani
perusahaan secara berkali-kali lipat dari jumlah uang yang telah dibayarnya
tersebut. Dengan begitu, dia telah membebankan harta perusahaan tanpa cara yang
haq.
Hal lainnya,
mayoritas mereka yang telah membayar asuransi (fee) kepada perusahaan suka
bertindak ceroboh (tidak berhati-hati terhadap keselamatan diri), mengendarai
kendaraan secara penuh resiko dan bisa saja mengalami kecelakaan namun mereka
cepat-cepat mengatakan, “Sesungguhnya perusahaan itu kuat (finansialnya), dan
barangkali bisa membayar ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi”. Tentunya hal
ini berbahaya terhadap (kehidupan) para penduduk karena akan semakin banyaknya
kecelakaan dan angka kemat
C. Dasar Hukum Asuransi Dalam Islam
Di dunia timur,
asuransi dikenal pada abad XIX M, sedang di barat telah dikenal sejak abad XIV
M, karena itu para imam madzhab empat tidak ada yang menyinggung persoalan ini.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu
tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang
mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan
memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan
Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari
langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan
hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan
pemberi rezeki kepadanya.”
(Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari
ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan
segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang.
Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Mengkaji hukum asuransi menurut
syariat Islam sudah tentu dilakukan dengan menggunakan metode ijtihad
(reasoning/exercise of judgement) yang lazim dipakai oleh ulama mujtahidin
dahulu. Dan diantara metoda ijtihad yang mempunyai banyak peranan di dalam meng
istinvat-kan masalah baru yang tidak ada nashnya di dalam Al Quran dan Hadits
adalah masalah mursalah atau isthislah (public good) dan qiyas (analogical
reasoning)
Pada
perkembangannya, jika mengacu pada ketiga ayat diatas maka Asuransi menuai perbedaan pendapat dikalangan umat muslim,
perbedaan tersebut diantaranya adalah seperti berikut:
1. haram.
Asuransi
itu haram dalam segala macam bentuknya temasuk asuransi jiwa
Pendapat
ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq Abdullah al-Qalqii Yusuf Qardhawi dan
Muhammad Bakhil al-Muth’i . Alasan-alasan yg mereka kemukakan ialah
1.
Asuransi sama dgn judi
2.
Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
3.
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
4.
Asurnsi mengandung unsur pemerasan karena pemegang polis apabila tidak bisa
melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi yg sudah dibayar atau di
kurangi.
Premi-premi
yg sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
Asuransi
termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
Hidup
dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama halnya dgn mendahului takdir
Allah.
5. Menjadikan takdir Allah sebagai
obyek bisnis.
2. Boleh .
Asuransi
di perbolehkan. Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf Mustafa
Akhmad Zarqa Muhammad Yusuf Musa dan Abd. Rakhman Isa . Mereka beralasan
1.
Tidak ada nash yg melarang asuransi.
2.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
3.
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4.
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum sebab premi-premi yg terkumpul
dapat di investasikan utk proyek-proyek yg produktif dan pembangunan.
5.
Asuransi termasuk akad mudhrabah
6.
Asuransi termasuk koperasi .
7.
Asuransi di analogikan dgn sistem pensiun seperti taspen.
3. syubhat.
Alasan golongan yg
mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yg tegas yang
menyatakan halal atau haramnya asuransi tersebut.
Pada dasarnya,
dalam prinsip syariah hukum-hukum muamalah (transaksi bisnis) adalah
bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur’an hanya memberikan aturan
yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi ulama
mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an maupun Hadits tidak menyebutkan secara
nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti bahwa asuransi
hukumnya haram, karena ternyata dalam hukum Islam memuat substansi
perasuransian secara Islami sebagai dasar operasional asuransi syariah.
Hakikat
asuransi secara syariah adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama
atau bantu-membantu dan saling menanggung penderitaan satu sama lain. Oleh
karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariah, karena prinsip-prinsip
dasar syariah mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan
sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka sebagaimana
firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2 yang artinya:“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Prinsip
asuransi syariah yang menekankan pada semangat kebersamaan dan tolong-menolong
(ta’awun). Semangat asuransi syariah menginginkan berdirinya sebuah
masyarakat mandiri yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang,
karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan
yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi
ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil (aklu amwalinnas
bilbathil), karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah
dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah akan
membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perekonomian umat.
D. Pedoman Perasuransian
Dalam menjalankan usahanya,
perusahaan asuransi dan reasuransi syariah berpegang pada pedoman yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu
Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah di
samping Fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad perjanjian
asuransi syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah
Musytarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa No.
53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan
pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:
1. Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah
yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan
usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…”
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4
mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi
dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan
kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan
prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
prinsip syariah.
2. Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi
syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus
dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
prinsip syariah.
3. Keputusan Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan
Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.
F. Perkembangan Asuransi Syariah
Lembaga
asuransi sebagaimana dikenal sekarang ini sesungguhnya belum dikenal pada
periode awal Islam, akibatnya banyak literatur Islam menyimpulkan secara
apriori bahwa asuransi tidak dapat dipandang sebagai praktik yang halal.
Walaupun secara jelas mengenai lembaga asuransi ini tidak dikenal pada periode
awal Islam, akan tetapi terdapat beberapa aktivitas dari kehidupan pada masa
Rasulullah yang mengarah pada prinsip-prinsip asuransi. Misalnya konsep
tanggung jawab bersama yang disebut dengan sistem ’aqilah. Sistem
tersebut telah berkembang pada masyarakat Arab sebelum lahirnya Rasulullah SAW
Kemudian pada zaman Rasulullah SAW atau pada masa periode awal Islam sistem
tersebut dipraktekkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sistem ’aqilah adalah
sistem menghimpun para anggota keluarga besar untuk menyumbang dalam suatu
tabungan bersama yang dikenal sebagai “kanz”. Tabungan ini bertujuan untuk
memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang terbunuh secara tidak
sengaja dan untuk membebaskan hamba sahaya.
Kemunculan
usaha perasuransian syariah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan usaha
perasuransian konvensional yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujudnya usaha
perasuransian syariah, terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional
yang telah lama berkembang. Jika ditinjau dari segi hukum perikatan Islam
asuransi konvensional hukumnya haram. Hal ini dikarenakan dalam operasional asuransi
konvensional mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maysir
(spekulasi/gambling) dan riba (bunga). Pendapat ini
disepakati oleh banyak ulama terkenal dunia seperti Yusuf al-Qaradhawi, Sayyid
Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Bakhil al-Muth’i, Abdul Wahab Khalaf,
Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad
Nejatullah Siddiqi. Namun demikian, karena alasan kemaslahatan atau kepentingan
umum sebagian dari mereka membolehkan untuk sementara belum ada alternatif yang
sesuai syariah beroperasinya asuransi konvensional .
Di Malaysia,
pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan pada tanggal 15
Juni 1972 di mana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan keputusan bahwa
praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah haram. Selain
itu Jawatan Kuasa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang berjudul ”Ke Arah
Insurans Secara Islami di Malaysia” menyatakan bahwa asuransi masa kini
mengikuti cara pengelolaan Barat dan sebagian operasinya tidak sesuai dengan
ajaran Islam
Dalam rangka
pengembangan perekonomian umat jangka panjang, masyarakat muslim perlu
konsisten mengaplikasikan prinsip-prinsip perniagaan syariah berdasarkan nash-nash
(teks-teks dalil agama) yang jelas atau pendapat para pakar ekonomi
Islam. Untuk itu usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah merupakan
lembaga ekonomi syariah yang dapat membawa umat Islam ke arah kemakmuran patut
diwujudkan dan merupakan sebuah keniscayaan.
Berdasarkan
pemikiran bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka kemudian
dirumuskan bentuk asuransi yang terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan
Islam tersebut di atas yaitu gharar, maisir dan riba.
Berdasarkan hasil analisis terhadap hukum (syariat) Islam dapat disimpulkan
bahwa di dalam ajaran Islam termuat substansi perasuransian. Asuransi yang
termuat dalam substansi hukum Islam tersebut ternyata dapat menghindarkan
prinsip operasional asuransi dari unsur gharar, maisir dan riba.
Dengan adanya
keyakinan umat Islam di dunia dan keuntungan vang diperoleh melalui konsep
asuransi syariah, lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha
perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi
syariah ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga
berbagai perusahaan milik non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan
berbasis konvensional ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah
dengan membuka kantor cabang dan divisi syariah.
Seiring dengan
bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu,
akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta
menjadi acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan
nama asuransi mutual, kerja sama (ta’awuni), atau takmin ta’awuni.
Konsep Asuransi Ta’awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar
Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di Mekah. Peserta hampir
200 orang dari kalangan ulama. Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma’
Fiqh Islami ‘Alami (Lembaga Fiqih Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah
yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan (Komersial). Majma’
Fiqih juga secara ijma’ mengharuskan dioperasikannya usaha perasuransian
jenis kerja sama (ta’awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis
asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta’awuni. Dalam rangka menindaklanjuti fatwa
tersebut dan kebutuhan umat terhadap asuransi berdasarkan hukum Islam, Pada
dekade 70-an di beberapa negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas
penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip operasionalnya mengacu
kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam.
Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya perusahaan
asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan Islamic
Insurance Co. Ltd. di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini
kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islami di Geneva, Swiss
dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di
Bahamas dan al-Takaful al-Islami di Bahrain pada tahun 1983. Di
Malaysia, Syarikat Takaful Sendirian Berhad berdiri pada tahun 1984.
Selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain seperti Bahrain, UAE, Brunei,
Singapura, dan Indonesia.
Di Indonesia,
Asuransi Takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan diresmikannya PT
Syarikat Takaful Indonesia yang kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT
Asuransi Takaful Keluarga pada tahun 1994 dan PT Asuransi Takaful Umum pada
tahun 1995. Gagasan dan pemikiran didirikannya asuransi berlandaskan syariah
sebenarnya sudah muncul tiga tahun sebelum berdirinya takaful dan makin kuat
setelah diresmikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Dengan
beroperasinya Bank-bank Syariah dirasakan kebutuhan akan kehadiran jasa
asuransi yang berdasarkan syariah pula. Berdasarkan pemikiran tersebut Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993 melalui
Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi
Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful
Saat ini
perusahaan asuransi yang benar-benar secara penuh beroperasi sebagai perusahaan
asuransi syariah ada tiga, yaitu Asuransi Takaful Keluarga, Asuransi Takaful
Umum, dan Asuransi Mubarakah. Selain itu ada beberapa perusahaan asuransi
konvensional yang membuka cabang syariah di antaranya seperti Prudential
Syariah, MAA, Great Eastern, Tripakarta, Beringin Life, Bumiputra, Dharmala,
dan Jasin.
DAFTAR PUSTAKA
2.
http://www.ppalanwar.com/news/372/58/ASURANSI-DALAM-PERSPEKTIF-ISLAM/. Diakses pada 21 february
2011.pukul 11.22 wib
3.
http://www.ldkstaisiliwangi.co.cc/2010/03/pandangan-ulama-terhadap-asuransi.html.
diakses 21 february 2011,21
Fbruary 2011. pukul 11.31 wib
4.
http://www.dakwatuna.com/2010/perasuransian-dan-hukum-asuransi-dalam-islam-bagian-ke-1/.Source :
http://yada-katahati.blogspot.com/2012/04/asuransi-dalam-perspektif-islam.html
0 komentar:
Post a Comment