Sejarah dan Latar Belakang Perkembangan Hak Asasi Manusia

SEJARAH SINGKAT

A. Sejarah dan Latar Belakang Perkembangan Hak Asasi Manusia

Kepedulian terhadap kemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar berakar langsung dari kesadaran masyarakat internasional bahwa “pengakuan terhadap martabat yang melekat pada dan hak-hak yang tidak dapat dicabut dari serta setara bagi semua umat manusia merupakan landasan kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia,” dan dari ikrar Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa “untuk mencapai kemajuan dalam penghormatan dan ketaatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar secara universal, melalui kerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa."

Dengan demikian dimasukkannya pencapaian kerjasama internasional sebagai tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa "dalam memajukan dan mendorong penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama," merupakan bentuk nyata komitmen yang mendalam para pendiri PBB terhadap hak asasi manusia, setelah bencana Perang Dunia Kedua yang mengerikan. Pengalaman perang tersebut telah memunculkan keyakinan yang luas bahwa perlindungan internasional yang efektif terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu prasyarat hakiki bagi perdamaian dan kemajuan dunia.

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengacu kepada hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam sejumlah klausul. Dalam Mukadimahnya, seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan tekad mereka "untuk memperteguh kepercayaan terhadap hak-hak asasi manusia, pada martabat dan harga diri manusia, pada persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan, dan bagi segala bangsa yang besar dan yang kecil." Kata-kata "memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar muncul, dengan sedikit variasi, dalam Pasal 1 tentang tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa; dalam Pasal 13, tentang fungsi dan kewenangan Majelis Umum; dalam Pasal 62, tentang fungsi dan wewenang Dewan Ekonomi dan Sosial; dan dalam Pasal 76, tentang tujuan-tujuan dasar Dewan Perwalian Internasional. Pasal 8 menyatakan bahwa "Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak akan memberikan batasan-batasan terhadap kelayakan laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam kapasitas apapun, dan berdasarkan asas kesetaraan dalam badan-badan utama maupun badan-badan pelengkapnya (subsidiary bodies)". Pasal 56 menyatakan bahwa semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berjanji untuk secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, melalui kerjasama dengan PBB, untuk mencapai tujuan-tujuan yang tercantum dalam Pasal 55, termasuk memajukan "penghormatan dan ketaatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang universal bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama".

B. Perangkat Dasar Hak Asasi Manusia

Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia terdiri dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan dua Protokol Opsionalnya.

Hak-hak asasi manusia telah disebut-sebut dalam Kovenan Liga Bangsa-Bangsa, yang diantaranya, menuju pada pembentukan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organisation). Pada Konperensi San Francisco 1945, yang diselenggarakan untuk merancang Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah usulan tentang "Deklarasi tentang Hak-hak Esensial Manusia" telah diajukan, namun tidak dibahas karena memerlukan pertimbangan yang lebih matang dari yang mungkin dilakukan pada saat itu. Piagam tersebut secara jelas menyebutkan "memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama" (Pasal 1 ayat 3). Ide untuk membuat "Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia" juga dianggap oleh banyak pihak telah tersirat dalam Piagam tersebut.

Komisi Persiapan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang segera mengadakan pertemuan setelah penutupan sidang Konperensi San Francisco, merekomendasikan agar Dewan Ekonomi dan Sosial dalam sidang pertamanya membentuk sebuah komisi untuk memajukan hak-hak asasi manusia, sebagaimana telah digambarkan dalam Pasal 68 Piagam PBB. Berdasarkan hal ini Dewan membentuk Komisi Hak-hak Asasi Manusia di awal 1946.

Pada sidang pertama di 1946, Majelis Umum membahas sebuah rancangan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan dasar dan menyampaikannya ke Dewan Ekonomi dan Sosial "sebagai rujukan Komisi Hak-hak Asasi Manusia agar dipertimbangkan … dalam persiapannya membuat Ketentuan Internasional tentang Hak-hak asasi manusia" (resolusi 43 (I)). Pada sidang pertamanya di awal 1947, Komisi meminta pejabat-pejabatnya untuk merumuskan apa yang dinamakannya sebagai "rancangan awal Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia." Kemudian, buruhan tersebut diambil alih oleh suatu komite perancang formal yang terdiri dari anggota Komisi dari delapan Negara yang dipilih dengan memperhatikan letak geografis.

Pada mulanya, muncul perbedaan pendapat tentang bentuk ketentuan tentang hak-hak asasi manusia. Komite Perancang memutuskan untuk menyiapkan dua dokumen: yang pertama dibuat dalam bentuk deklarasi yang akan memuat prinsip-prinsip atau standar-standar umum hak-hak asasi manusia; yang lainnya dalam bentuk konvensi yang akan merumuskan secara khusus hak-hak dan batasan-batasannya. Sehubungan dengan itu, Komisi menyampaikan rancangan pasal-pasal deklarasi internasional dan konvensi internasional tentang hak-hak asasi manusia kepada Komisi Hak-hak Asasi Manusia. Pada sidangnya yang kedua pada Desember 1947, Komisi memutuskan untuk menggunakan istilah "Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia" untuk rangkaian dokumen yang sedang dipersiapkan, dan membentuk tiga kelompok kerja: satu untuk deklarasi, satu untuk konvensi (yang kemudian diganti menjadi "kovenan") dan satu lagi untuk penerapan. Komisi merevisi rancangan deklarasi pada sidangnya yang ketiga pada Mei/Juni 1948, dengan memperhatikan komentar-komentar yang diterima dari berbagai Pemerintah. Akan tetapi Komisi tidak memiliki waktu untuk membahas kovenan atau masalah penerapannya. Oleh karenanya Deklarasi disampaikan melalui Dewan Ekonomi dan Sosial kepada Majelis Umum dalam pertemuannya di Paris.

Dengan resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum menetapkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia sebagai instrumen pertama dari sekian yang telah direncanakan. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ditetapkan oleh Majelis Umum melalui resolusi 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966. Protokol Opsional yang pertama dari Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang ditetapkan berdasarkan resolusi yang sama, memuat tentang perangkat internasional untuk menangani komunikasi dari individu yang menyatakan dirinya sebagai korban pelanggaran Hak-hak yang diatur dalam Kovenan.

1. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia ditetapkan dan dicanangkan oleh Majelis Umum sebagai standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap individu dan organ masyarakat, dengan selalu mengingat Deklarasi ini, harus mengupayakan melalui pengajaran dan pendidikan untuk memajukan penghormatan terhadap Hak-hakdan kebebasan ini; dan melalui upaya-upaya yang progresif, baik di lingkup nasional maupun internasional, untuk menjamin pengakuan dan pematuhannya secara universal dan efektif, baik di antara rakyat Negara Anggota sendiri, maupun diantara rakyat yang berada di wilayah yang berada dalam wilayah hukumnya.

Empat puluh delapan Negara mendukung Deklarasi, tidak ada yang menentang dan delapan Negara tidak memberikan suara. Dalam pernyataan setelah pemungutan suara, Presiden Majelis Umum mengemukakan bahwa penetapan Deklarasi ini merupakan "suatu pencapaian yang luar biasa, sebuah langkah maju dalam proses evolusi yang besar”. Peristiwa ini merupakan kesempatan pertama di mana komunitas bangsa-bangsa yang terorganisir telah membuat Deklarasi Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Instrumen tersebut didukung oleh otoritas pendapat Perserikatan Bangsa-Bangsa secara menyeluruh, dan jutaan manusia -- laki-laki, perempuan dan anak-anak di seluruh dunia -- akan merujuk padanya untuk bantuan, pedoman dan inspirasi.

Deklarasi ini terdiri dari Mukadimah dan 30 pasal yang mengatur Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar, di mana semua laki-laki dan perempuan di mana saja di dunia mempunyai Hak-hak atasnya tanpa diskriminasi. Pasal 1 yang meletakkan dasar filosofisDeklarasi ini menyebutkan: “Semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam Hak-hak dan martabat. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan.”

Dengan demikian Pasal tersebut telah mendefinisikan asumsi dasar Deklarasi: bahwa hak untuk kebebasan dan persamaan merupakan hak yang diperoleh manusia sejak lahir dan tidak dapat dicabut darinya; dan karena manusia merupakan makhluk rasional dan bermoral, ia berbeda dengan makhluk lainnya di bumi, dan karenanya berHak-hak untuk mendapatkan Hak-hak dan kebebasan tertentu yang tidak dinikmati makhluk lain.

Pasal 2 yang mengatur prinsip dasar dari persamaan dan non-diskriminasi sehubungan dengan pemenuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar, melarang adanya "pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berbeda, asal-usul bangsa atau sosial, harta, kelahiran atau status lainnya".

Pasal 3 yang merupakan tonggak pertama Deklarasi ini, menyatakan hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan seseorang – suatu hak yang esensial untuk pemenuhan Hak-haklainnya. Pasal ini memperkenalkan pasal 4 sampai 21, di mana hak sipil dan politik lainnya diatur, termasuk: kebebasan dari perbudakan dan perhambaan; kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun; hak untuk mendapatkan upaya pemulihan yang efektif melalui peradilan; kebebasan dari penangkapan, penahanan atau pengasingan sewenang-wenang; hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan peradilan yang terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak; hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya; kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat; kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal; hak atas suaka; hak atas kewarganegaraan; hak untuk menikah dan mendirikan keluarga; hak untuk memiliki harta benda; kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama; kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai; dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya dan mendapatkan akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya.

Pasal 22 sebagai tonggak kedua Deklarasi ini memperkenalkan Pasal 23 hingga 27. Dalam pasal-pasal ini dikemukakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yakni hak-hak yang berhak diperoleh setiap orang "sebagai anggota masyarakat". Pasal ini menandai hak-hak tersebut sebagai hak-hak yang tidak dapat dikesampingkan bagi martabat manusia dan kebebasan untuk mengembangkan kepribadian, dan menunjukkan bahwa Hak-haktersebut harus diwujudkan "melalui upaya-upaya nasional dan kerjasama internasional". Pada saat yang sama pasal ini juga mengungkapkan keterbatasan dalam perwujudannya yang tergantung pada sumber-sumber yang dimiliki oleh masing-masing Negara.

Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diakui dalam Pasal 22 hingga 27, mencakup hak atas jaminan sosial; hak untuk bekerja; hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk buruhan yang sama; hak untuk beristirahat dan bertamasya; hak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kehidupan; hak atas pendidikan; hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat.

Pasal-pasal penutup yaitu Pasal 28 hingga 30, mengakui bahwa setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional dimana hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dinyatakan dalam Deklarasi dapat diwujudkan sepenuhnya, dan menekankan kewajiban dan tanggung jawab setiap individu terhadap masyarakatnya. Pasal 29 menyatakan bahwa "dalam melaksanakan Hak-hakdan kebebasan-kebebasannya, setiap manusia hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh hukum yang semata-mata bertujuan menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi Hak-hakdan kebebebasan orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis. Pasal tersebut menambahkan bahwa Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar tidak dapat dilaksanakan apabila bertentangan dengan tujuan dan prinsip dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 30 menekankan bahwa tidak ada satu Negara, kelompok atau orang mana pun yang dapat menggunakan hak-hak apapun dalam Deklarasi, "untuk melakukan kegiatan atau melaksanakan tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan Hak-hakdan kebebasan” yang dikemukakan dalam Deklarasi.

Dilahirkan sebagai "standar umum keberhasilan semua orang dan semua bangsa," Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia memang telah menjadi demikian: suatu tongkat pengukur derajat penghormatan dan ketaatan terhadap standar hak-hak asasi manusia internasional. Sejak 1948 Deklarasi ini telah dan terus menjadi deklarasi yang paling penting dan paling jauh jangkauannya dari semua deklarasi yang pernah dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan merupakan sumber inspirasi mendasar bagi upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Deklarasi ini telah menentukan arah seluruh buruhan-buruhan selanjutnya dalam bidang hak-hak asasi manusia, dan meletakkan dasar filosofis bagi banyak instrumen internasional yang mengikat secara hukum, yang dibuat untuk melindungi hak-hak dan kebebasan yang diproklamirkan.

Dalam Proklamasi Teheran yang ditetapkan Konperensi Internasional Hak-hak Asasi Manusia yang diadakan di Iran pada 1968, Konperensi menyetujui bahwa "Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menyatakan pemahaman yang sama umat manusia di seluruh dunia, mengenai hak-hak semua manusia yang tidak dapat dicabut dan dilanggar, dan merupakan kewajiban anggota masyarakat internasional". Konperensi tersebut menegaskan keyakinannya terhadap prinsip-prinsip yang termuat dalam Deklarasi ini, dan mendorong seluruh bangsa dan Pemerintah "untuk mengabdikan diri mereka pada prinsip-prinsip tersebut … dan untuk melipatgandakan usaha mereka memberikan pada seluruh umat manusia suatu kehidupan yang sejalan dengan kebebasan dan martabat, dan keadaan yang kondusif bagi kesejahteraan fisik, mental, sosial dan spiritual". Beberapa tahun terakhir ini, ketika menyiapkan instrumen internasional di bidang hak-hak asasi manusia, dalam badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah tumbuh kecenderungan untuk merujuk tidak saja kepada Deklarasi Universal, tetapi juga kepada bagian lain Ketentuan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia.

2. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia

Mukadimah dan Pasal 1, 3 dan 5 dari kedua Kovenan Internasional hampir sama isinya. Mukadimah mengingatkan akan kewajiban Negara berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memajukan hak-hak asasi manusia; mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk berjuang bagi kemajuan dan ketaatan terhadap hak-hak tersebut; dan mengakui cita-cita seitap manusia yang bebas sesuai dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, untuk menikmati kebebasan sipil dan politik, dan kebebasan dari rasa takut dan kekurangan, yang hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati Hak-haksipil dan politiknya, termasuk Hak-hakekonomi, sosial dan budayanya.

Pasal 1 tiap-tiap Kovenan menyatakan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hal yang universal dan meminta Negara-negara untuk mengupayakan perwujudan hak tersebut dan menghormatinya.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa "semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri" dan menambahkan bahwa " Berdasarkan hak tersebut, mereka dengan bebas menentukan status politiknya dan mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya". Berkenaan dengan kedua hal di atas, Pasal 3 menegaskan kembali Hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi manusia, dan mengajak Negara-negara di dunia mewujudkan prinsip tersebut. Demikian pula Pasal 5 yang memberikan perlindungan dari penghancuran atau pembatasan yang tak semestinya terhadap hak-hak asasi manusia atau kebebasan dasar, dan terhadap misinterpretasi terhadap ketentuan apapun dalam Kovenan yang digunakan sebagai alat melegitimasi pelanggaran hak-hak atau kebebasan atau pembatasan terhadap kedua hal ini yang lebih besar daripada yang diperkenankan Kovenan. Pasal tersebut juga mencegah Negara membatasi hak-hak yang telah dinikmati di wilayahnya atas dasar hak-hak tersebut tidak diakui dalam Kovenan, atau diakui dalam arti yang lebih sempit.

Pasal 6 sampai dengan 15 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengakui hak untuk bekerja (Pasal 6); hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik (Pasal 7); hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi perburuhan (Pasal 8); hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial khususnya para ibu, anak dan orang muda (Pasal 10); hak untuk mendapat kehidupan yang layak (Pasal 11); hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi (Pasal 12); hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14); dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15).

Dalam Pasal 6 hingga 27, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melindungi hak untuk hidup (Pasal 6) dan mengatur bahwa tidak seorang pun dapat dijadikan obyek penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorangpun dapat diperlakukan sebagai budak; bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang; dan tidak seorangpun dapat diperhambakan atau diminta untuk melakukan kerja paksa (Pasal 8); bahwa tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang (Pasal 9); bahwa semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi (Pasal 10); dan bahwa tidak seorangpun dapat dipenjarakan semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban suatu kontrak (Pasal 11).

Kovenan ini mengatur tentang kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal (Pasal 12) dan batasan-batasan yang diperbolehkan ketika mendeportasi warga negara asing yang secara sah berada dalam wilayah Negara Peserta (Pasal 13). Kovenan mengatur tentang kesetaraan setiap orang di depan pengadilan dan lembaga peradilan dan jaminan dalam proses pengaduan pidana dan perdata (Pasal 14). Kovenan melarang pemberlakuan hukum pidana yang berlaku surut (Pasal 15); menegaskan hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum (Pasal 16); dan menghimbau larangan terhadap pelanggaran tidak sah dan sewenang-wenang atas kehidupan pribadi, keluarga, rumah atau korespondensi, dan serangan tidak sah atas kehormatan dan reputasinya (Pasal 17).

Kovenan ini memberikan perlindungan terhadap hak-hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18), dan kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pikiran (Pasal 19). Kovenan juga menyerukan perlunya hukum yang melarang propaganda perang dan upaya-upaya menimbulkan kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau agama, yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20). Kovenan ini mengakui hak berkumpul secara damai (Pasal 22). Kovenan juga mengakui hak bagi laki-laki dan perempuan pada usia kawin untuk menikah dan membentuk keluarga, dan prinsip persamaan hak dan kewajiban pasangan yang terikat dalam perkawinan, selama perkawinan maupun setelah pembubaran perkawinan (Pasal 23). Kovenan mengatur upaya-upaya melindungi hak-hak anak-anak (Pasal 24), dan mengakui hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam melakukan kegiatan publik, untuk memilih dan dipilih, dan untuk memiliki akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya (Pasal 25). Kovenan menentukan bahwa setiap orang adalah sama di depan hukum dan berHak-hak atas perlindungan yang sama di depan hukum (Pasal 26). Kovenan juga mengatur perlindungan terhadap hak-hak suku bangsa, etnis, agama dan bahasa minoritas yang berdiam di wilayah Negara Peserta (Pasal 27).

Akhirnya, Pasal 28 mengatur tentang pembentukan Komite Hak-hak Asasi Manusia yang bertanggung jawab untuk mengawasi penerapan hak-hak yang diatur dalam Kovenan.

3. Persyaratan

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak dan kebebasan seseoang dapat tunduk pada pembatasan-pembatasan tertentu yang harus ditentukan berdasarkan hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan yang layak atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis. Hak-hak tersebut tidak dapat dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau juga jika ditujukan untuk menghancurkan hak-hak apapun yang diatur dalam Deklarasi (Pasal 29 dan 30).

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan bahwa hak-hak yang diatur di dalamnya dapat dibatasi oleh hukum, sepanjang batasan itu sesuai dengan sifat hak-hak tersebut, dan semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (Pasal 4).

Berbeda dengan Deklarasi Universal dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tidak memuat ketentuan umum yang berlaku untuk semua hak-hak yang diatur dalam Kovenan, yang mensahkan pembatasan terhadap pelaksanaannya. Namun demikian, beberapa pasal Kovenan menyebutkan bahwa hak-hak yang dinyatakan tidak boleh dibatasi, kecuali apabila diatur oleh hukum dan dibutuhkan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.

Oleh karenanya, hak-hak tertentu tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi, sekalipun dalam situasi darurat. Hak-hak tersebut adalah hak-hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, bebas dari perbudakan dan perhambaan, dilindungi dari pemenjaraan karena hutang, bebas dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut, diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan kebebasan untuk bepikir, berkeyakinan dan beragama.

Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik memperkenankan suatu Negara untuk membatasi atau menangguhkan pemenuhan hak-hak tertentu, dalam keadaan-keadaan yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat umum yang mengancam kehidupan negara. Batasan-batasan terhadap atau penangguhan hak-hak tersebut hanya diperbolehkan "sepanjang ada situasi mendesak yang tegas-tegas menunjukkan kebutuhan ini," dan tidak boleh didasarkan pada diskriminasi terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial (Pasal 4). Pembatasan-pembatasan atau penangguhan tersebut wajib dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.

4. Protokol Opsional Pertama

Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, memungkinkan Komite Hak-hak Asasi Manusia, yang didirikan berdasarkan Kovenan tersebut, menerima dan membahas komunikasi dari para individu yang menyatakan dirinya korban pelanggaran hak-hak apapun yang ada dalam Kovenan.

Berdasarkan Pasal 1 Protokol Opsional, Negara Peserta Kovenan yang juga menjadi Negara Peserta Protokol, mengakui kompetensi Komite Hak-hak Asasi Manusia untuk menerima dan membahas komunikasi dari individu yang berada di bawah wilayah hukumnya, yang menyatakan dirinya korban pelanggaran hak-hak oleh Negara yang diatur dalam Kovenan. Para individu yang membuat pernyataan tersebut, dan telah mengupayakan segala bentuk penyelesaian secara domestik, berhak menyampaikan komunikasi tertulis kepada Komite (Pasal 2).

Komunikasi-komunikasi yang telah diputuskan dapat diterima Komite (di samping Pasal 2, Pasal 3 and 5 (2) mengatur syarat-syarat penerimaan komunikasi) untuk diperhatikan oleh Negara Peserta yang diduga telah melanggar ketentuan dalam Kovenan. Dalam jangka waktu enam bulan, Negara tersebut harus memberikan penjelasan atau pernyataan tertulis kepada Komite yang menjelaskan tentang masalah tersebut dan menunjukkan upaya penyelesain apapun yang telah dilakukannya, apabila ada.

Komite Hak-hak Asasi Manusia akan membahas komunikasi yang diterima dalam sebuah rapat tertutup, dengan memperhatikan informasi tertulis yang diberikan padanya oleh individu dan Negara Peserta yang bersangkutan. Komite kemudian menyampaikan pandangannya kepada Negara Peserta dan individu (Pasal 5). Ringkasan kegiatan-kegiatan Komite berdasarkan Protokol Opsional akan dimasukan dalam laporan yang diserahkan oleh Komite setiap tahunnya kepada Majelis Umum melalui Dewan Ekonomi dan Sosial (Pasal 6).

5. Protokol Opsional Kedua

Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang bertujuan menghapuskan hukuman mati, ditetapkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 44/128 tertanggal 15 Desember 1989. Berdasarkan Pasal 1, tidak seorangpun dalam wilayah hukum suatu Negara Peserta Protokol ini dapat dihukum mati.

Berdasarkan Pasal 3 Protokol, Negara-negara Peserta harus mencantumkan informasi tentang upaya-upaya yang diambil untuk mewujudkan Protokol, dalam laporan yang diserahkan kepada Komite Hak-hak Asasi Manusia.

Pasal 5 Protokol Opsional Kedua menyebutkan bahwa sehubungan dengan suatu Negara yang menjadi Peserta Protokol Opsional pertama, kompetensi Komite Hak-hak Asasi Manusia untuk menerima dan membahas komunikasi dari individu yang berada di bawah wilayah hukum Negara tersebut mencakup pula ketentuan yang ada dalam Protokol Opsional Kedua, kecuali jika Negara Peserta yang bersangkutan telah membuat pernyataan yang sebaliknya pada saat ratifikasi atau aksesi.

Berdasarkan Pasal 6, ketentuan dalam Protokol Opsional Kedua berlaku sebagai ketentuan tambahan bagi Kovenan.

Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati mulai berlaku pada 11 Juli 1991, setelah menerima sedikitnya 10 dokumen ratifikasi atau aksesi sebagaimana dipersyaratkan. Hingga 30 September Protokol telah diratifikasi atau diikuti oleh 28 Negara.

6. Pengaruh Mendunia Ketentuan Dasar Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia

Sejak 1948, pada saat Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia ditetapkan dan diproklamasikan -- hingga 1976 – ketika Kovenan-Kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia mulai berlaku -- Deklarasi merupakan satu-satunya bagian terlengkap dari Ketentuan Dasar Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia. Deklarasi, dan kemudian Kovenan-Kovenan tersebut, memberi pengaruh yang mendalam pada pemikiran dan tindakan setiap individu dan Pemerintahan mereka di segala penjuru dunia.

Konperensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia yang diadakan di Teheran dari 22 April hingga 13 Mei 1968 untuk menelaah kemajuan yang dibuat selama 20 tahun sejak ditetapkannya Deklarasi Universal, dan untuk merumuskan program-program di masa depan, dalam Proklamasi Teheran menyatakan sebagai berikut:

a. Adalah suatu keharusan bagi anggota masyarakat internasional untuk memenuhi kewajiban mereka dalam memajukan dan mendorong penghormatan terhadap Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk semua orang tanpa pembedaan dalam bentuk apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya;

b. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menyatakan pemahaman bersama bangsa-bangsa di dunia sehubungan dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut dari dan dilanggar bagi semua anggota masyarakat internasional, dan merupakan kewajiban bagi anggota masyarakat internasional;

c. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Deklarasi Pemberian Kemerdekaan bagi Negara dan Rakyat Jajahan, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan juga konvensi-konvensi lainnya dan deklarasi di bidang hak-hak asasi manusia yang ditetapkan dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan khusus dan organisasi antar pemerintah, telah menciptakan suatu standar dan kewajiban baru yang harus disesuaikan oleh Negara-negara;

Dengan demikian, selama lebih dari 25 tahun Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia berdiri sendiri sebagai sebuah "standar keberhasilan internasional bagi semua manusia dan semua bangsa". Deklarasi dikenal dan diterima keabsahannya, baik di Negara yang menjadi Peserta salah satu atau kedua Kovenan, dan di Negara yang tidak meratifikasi atau melakukan aksesi atas kedua Kovenan tersebut. Ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Deklarasi ini banyak dijadikan dasar dan pembenaran sejumlah besar keputusan yang diambil oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa; Deklarasi ini menjadi inspirasi untuk mempersiapkan sejumlah instrumen internasional tentang hak-hak asasi manusia, baik di dalam maupun di luar sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa; dokumen ini berpengaruh terhadap sejumlah perjanjian multilateral dan bilateral; dan juga mempunyai pengaruh yang kuat sebagai dasar untuk mempersiapkan konstitusi dan undang-undang nasional yang baru.

Deklarasi Universal diakui sebagai dokumen bersejarah yang mengartikulasikan definisi umum mengenai martabat dan nilai-nilai manusia. Deklarasi ini merupakan tonggak yang menjadi ukuran tingkat penghormatan dan ketaatan terhadap standar hak-hak asasi manusia internasional di mana saja di muka bumi ini.

Mulai berlakunya Kovenan-Kovenan, yang diterima oleh Negara-negara Peserta baik sebagai kewajiban hukum maupun moral untuk memajukan dan melindungi Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar, sama sekali tidak mengurangi luasnya pengaruh Deklarasi Universal. Sebaliknya, keberadaan Kovenan-Kovenan ini sendiri dan kenyataan bahwa Kovenan-Kovenan ini berisi upaya-upaya penerapan yang disyaratkan untuk memastikan perwujudan hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi, telah memberi kekuatan yang lebih besar bagi Deklarasi.

Lebih jauh lagi, Deklarasi Universal sungguh-sungguh berlingkup universal, karena ia menjaga kesahihannya bagi setiap anggota keluarga manusia di mana saja, tanpa memandang apakah Pemerintah telah secara resmi menerima prinsip-prinsip yang ada dalam Deklarasi atau meratifikasi Kovenan-Kovenan. Di lain pihak, Kovenan-Kovenan sebagai konvensi internasional, bersifat mengikat secara hukum Negara-negara yang telah menerimanya dengan cara meratifikasi atau melakukan aksesi.

Dalam berbagai resolusi dan keputusan penting yang ditetapkan oleh badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Majelis Umum dan Dewan Keamanan, Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan salah satu atau kedua Kovenan tersebut telah dijadikan rujukan sebagai dasar suatu tindakan.

Hampir semua instrumen internasional hak-hak asasi manusia yang ditetapkan oleh badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 1948 telah menguraikan prinsip-prinsip yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan dalam mukadimahnya bahwa Kovenan itu berkembang dari pengakuan bahwa: Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, kebebasan manusia yang ideal dalam menikmati kebebasan dari rasa takut dan kebebasan dari kekurangan hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi di mana setiap orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya-nya, dan juga hak-hak sipil dan politiknya.

Pernyataan yang sama juga dimuat dalam mukadimah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

Deklarasi tentang Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi atau Menurunkan martabat yang ditetapkan oleh Majelis umum pada 1975 (resolusi 3452 (XXX)), menguraikan pengertian Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, di mana keduanya mengatur bahwa tidak seorang pun boleh disiksa dan diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Larangan ini ditegaskan lebih lanjut dengan ditetapkannya Kovensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (resolusi Majelis Umum 39/46) pada 1984. Serupa dengan itu, Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan, yang diproklamasikan Majelis Umum pada 1981 (resolusi 36/55), secara tegas merumuskan sifat dan ruang lingkup prinsip-prinsip non-diskriminasi dan perlakuan yang sama di depan hukum, dan Hak-hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama dan berkepercayaan, yang terdapat dalam Deklarasi Universal dan Kovenan-Kovenan Internasional.

Situasi yang serupa muncul dalam instrumen internasional hak-hak asasi manusia yang ditetapkan di luar sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai contoh, mukadimah dari Konvensi Bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang ditetapkan oleh Dewan Eropa di Roma pada 1950, ditutup dengan kata-kata sebagai berikut: Memutuskan bahwa Pemerintah-pemerintah Negara-negara Eropa yang mempunyai pemikiran yang sama dan warisan tradisi politik, ide, kebebasan dan negara hukum yang sama, untuk mengambil langkah-langkah pertama secara kolektif menegakkan hak-hak tertentu yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal.

Pasal II Piagam Organisasi Persatuan Afrika yang ditetapkan di Addis Ababa pada 1963, menyatakan bahwa salah satu tujuan Organisasi ini adalah "memajukan kerjasama internasional dengan memperhatikan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia". Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia yang ditandatangani di San Jose, Kosta Rika pada 1969, menyatakan dalam mukadimahnya bahwa prinsip-prinsip yang hendak dijalankan adalah prinsip-prinsip yang terdapat dalam Piagam Organisasi Negara-negara Amerika, Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban dari Manusia dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.

Para hakim Mahkamah internasional sering menggunakan prinsip-prinsip yang termuat dalam Ketentuan Internasional Hak-hak Asasi Manusia sebagai dasar untuk keputusan mereka.

Pengadilan Nasional dan lokal sering merujuk pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam Ketentuan Internasional Hak-hak Asasi Manusia dalam keputusan mereka. Lebih jauh lagi dalam tahun-tahun terakhir ini teks konstitusi dan undang-undang nasional telah lebih banyak memuat upaya-upaya perlindungan hukum bagi prinsip-prinsip tersebut; bahkan banyak hukum nasional dan lokal yang mutakhir dengan jelas mengambil contoh ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Kovenan-Kovenan Internasional, yang tetap menjadi pedoman utama bagi upaya-upaya masa kini maupun masa mendatang di bidang hak-hak asasi manusia, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

Terakhir, Konperensi Dunia tentang Hak-hak Asasi Manusia yang diadakan di Wina pada Juni 1993 menetapkan secara bulat Deklarasi Wina dan Program Aksi, di mana Konperensi menyambut baik kemajuan dalam mengkodifikasi instrumen hak-hak asasi manusia, dan mendorong ratifikasi secara universal perjanjian-perjanjian hak-hak asasi manusia. Di samping itu semua Negara didorong untuk sedapat mungkin menghindari pengajuan keberatan (bagian I paragraf 26).

Dengan demikian, Ketentuan Internasional Hak-hak Asasi Manusia mewakili sebuah tonggak penting dalam sejarah hak-hak asasi manusia, sebuah Magna Charta yang menandai pencapaian umat manusia pada tahap yang sangat penting: perolehan kesadaran akan penghormatan terhadap martabat dan harga diri manusia.

C. INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA

Berikut ini adalah daftar isntrumen-instrumen hak asasi manusia internasional yang dapat dijadikan rujukan:

Universal

1. Charter of the United Nations (1945)
2. Universal Declaration of Human Rights (1948)
3. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966)
4. International Covenant on Civil and Political Rights (1966)
a. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (1966)
b. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, Aiming at the Abolition of the Death Penalty (1989)

Instrumen-instrumen yang berkaitan dengan pencegahan diskriminasi

1. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965)
2. Declaration Regarding Article 14 of the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965)
3. International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid (1973)
4. International Convention against Apartheid in Sports (1985)
5. Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination based on Religion or Belief (1981)
6. UNESCO Convention against Discrimination in Education (1960)
7. UNESCO Protocol Instituting a Conciliation and Good Offices Commission to be Responsible for Seeking the Settlement of any Disputes which May Arise between States Parties to the Convention Against Discrimination in Education (1962)
8. UNESCO Declaration on Race and Racial Prejudice (1978)
9. UNESCO Declaration on Fundamental Principles concerning the Contribution of the Mass Media to Strengthening Peace and International Understanding, to the Promotion of Human Rights and to Countering Racialism, Apartheid and Incitement to War (1978)
10. ILO Convention (No. 100) concerning Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value (1951)
11. ILO Convention (No. 111) concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (1958)
12. ILO Convention (No. 156) concerning Equal Opportunities and Equal Treatment for Men and Women Workers: Workers with Family Responsibilities (1981)

Instrumen-instrumen yang berkaitan dengan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan
1. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (1948)
2. Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes against Humanity (1968) 3. Principles of International Co-operation in the Detection, Arrest, Extradition and Punishment of Persons Guilty of War Crimes and Crimes against Humanity (1973) 4. Rome Statute of the International Criminal Court (1998) 5. European Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to Crimes Against Humanity and War Crimes (1974) 6. European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1987) 7. Protocol no. 1 to the European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1993) 8. Protocol no. 2 to the European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1993) 9. Inter-American Convention to Prevent and Punish Torture (1985) 10. Inter-American Convention on the Forced Disappearance of Persons (1994) Instrumen-instrumen yang berkaitan dengan perbudakan, perdagangan manusia dan kerja paksa 1. Slavery Convention Signed at Geneva on 25 September 1926 and Amended by the Protocol (1926, 1953) 2. Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery (1956) 3. Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others (1949) 4. ILO Convention (No. 29) concerning Forced or Compulsory Labour (1930) 5. ILO Convention (No. 105) concerning the Abolition of Forced Labour (1957) 6. ILO Convention (No. 138) concerning Minimum Age for Admission to Employment (1973) 7. ILO Convention (No. 182) concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (1999) 8. Inter-American Convention on International Traffic in Minors (1994) Instrumen yang berkaitan dengan Suaka 1. OAS Convention on Asylum (1928) 2. OAS Convention on Political Asylum (1933) 3. OAS Convention on Diplomatic Asylum (1954) 4. OAS Convention on Territorial Asylum (1954) Instrumen yang berkaitan dengan Kebebasan Informasi 1. Convention on the International Right of Correction (1952) 2. Guidelines for the Regulation of Computerized Personal Data Files (1990) 3. European Convention for the Protection of Individuals with regard to Automatic Processing of Personal Data (1981) Instrumen yang berkaitan dengan Perlindungan Anak 1. Convention on the Rights of the Child (1989) 2. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflicts (1999) 3. Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (1999) 4. Declaration on Social and Legal Principles relating to the Protection and Welfare of Children, with Special Reference to Foster Placement and Adoption Nationally and Internationally (1986) 5. European Convention on the Legal Status of Children Born Out of Wedlock (1975) 6. European Convention on the Exercise of Children's Rights (1996) 7. African Charter on the Rights and Welfare of the Child (1990) Instrumen yang berkaitan dengan perlindungan orang asing, pengungsi dan orang-orang tanpa kewarganegaraan 1. Statute of the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees (1950) 2. Convention Relating to the Status of Refugees (1951) 3. Convention relating to the Status of Stateless Persons (1954) 4. Convention on the Reduction of Statelessness (1961) 5. Protocol relating to the Status of Refugees (1966) 6. Declaration on Territorial Asylum (1967) 7. Declaration on the Human Rights of Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live (1985) 8. OAU Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa (1969) 9. European Agreement on the Abolition of Visas for Refugees (1951) 10. European Agreement on Transfer of Responsibility for Refugees (1980) 11. European Convention on the Participation of Foreigners in Public Life at Local Level (1992) 12. European Convention on Nationality (1997) 13. OAS Convention relative to the Rights of Aliens (1902) 14. OAS Convention on the Status of Aliens (1928) Instrumen yang berkaitan dengan Perlindungan Pekerja termasuk Pekerja Migran 1. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers (1990) 2. ILO Convention (No. 11) concerning the Rights of Association and Combination of Agricultural Workers (1921) 3. ILO Convention (No. 87) concerning Freedom of Association and Protection of the Right to Organise (1948) 4. ILO Convention (No. 97) concerning Migration for Employment (1949) 5. ILO Convention (No. 98) concerning the Application of the Principles of the Right to Organise and Bargain Collectively (1949) 6. ILO Convention (No. 122) concerning Employment Policy (1964) 7. ILO Convention (No. 135) concerning Protection and Facilities to be Afforded to Workers' Representatives in the Undertaking (1971) 8. ILO Convention (No. 141) concerning Organisations of Rural Workers and their Role in Economic and Social Development (1975) 9. ILO Convention (No. 143) concerning Migrations in Abusive Conditions and the Promotion of Equality of Opportunity and Treatment of Migrant Workers (1975) 10. ILO Convention (No. 151) concerning Protection of the Right to Organise and Procedures for Determining Conditions of Employment in the Public Service (1978) 11. ILO Convention (No. 154) concerning the Promotion of Collective Bargaining (1981) 12. ILO Convention (No. 168) concerning Employment Promotion and Protection against Unemployment (1988) 13. European Convention on the Legal Status of Migrant Workers (1977) Instrumen yang berkaitan dengan perlindungan perempuan 1. Convention on the Political Rights of Women (1952) 2. Convention on the Nationality of Married Women (1957) 3. Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages (1962) 4. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (1979) 5. Optional Protocol on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (1999) 6. Declaration on the Elimination of Violence against Women (1993) 7. OAS Convention on the Nationality of Women (1933) 8. Inter-American Convention on the Granting of Political Rights to Women (1948) 9. Inter-American Convention on the Granting of Civil Rights to Women (1948) 10. Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence against Women (1994) Instrumen yang berkaitan dengan perlindungan sipil dalam situasi konflik 1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field (1949) 2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of the Armed Forces at Sea (1949) 3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War (1949) 4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War (1949) 5. Additional Protocol to the Geneva Conventions of 12 August 1949 relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) (1977) 6. Declaration Regarding Article 90 of Protocol I (concerning the competence of the International Fact-Finding Commissions) (1990) 7. Additional Protocol to the Geneva Conventions of 12 August 1949 relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II) (1977) 8. Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict (1974) 9. European Convention on the Compensation of Victims of Violent Crimes (1983) Perangkat perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia Peraturan Perundang-undangan nasionaldi bidang Hak asasi manusia: 1. UUD 1945 (khususnya alinea pertama pembukaan; pasal 27 ayat 1 dan ayat 2; pasal 28; pasal 28A-pasal 28J; pasal 29 ayat 2; dan pasal 31 ayat 1; 2. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 4. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Dari berbagai instrumen HAM tersebut dapat dicatat ciri-ciri HAM yang menekankan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia. Hak dasar tersebut bersifat kodrati, universal, abadi, berkaitan dengan harkat atau martabat manusia serta dimiliki oleh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, usia, pandangan politik, status sosial, bahasa atau status lainnya. Hak tersebut berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan dan kelangsungan hidup manusia dan masyarakat. Hak tersebut harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan, serta tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dapat diklasifikasikan hak-hak asasi manusia yang dilindungi, yaitu: 1. Hak Untuk Hidup...................................................... Pasal 9 UU No 39/1999 a. Hak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidup b. Hidup tentram, aman dan damai c. Lingkungan hidup yang baik 2. Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan ..... Pasal 10 UU No. 39/1999 a. Hak untuk membentuk suatu keluarga melalui perkawinan yang sah 3. Hak Mengembangkan kebutuhan dasar ........... Pasal 11-16 UU No. 39/1999 a. Hak untuk pemenuhan diri b. Hak pengembangan pribadi c. Hak atas manfaat IPTEK d. Hak atas komunikasi dan informasi 4. Hak Memperoleh Keadilan .............................. Pasal 17-19 UU No. 39/1999 a. Hak perlindungan hukum b. Hak atas keadilan dalam proses hukum c. Hak atas hukuman yang adil 5. Hak Atas Kebebasan dari perbudakan ............. Pasal 20-27 UU No. 30/1999 Hak untuk bebas dari perbudakan pribadi Hak atas keutuhan pribadi c. Kebebasan memeluk agama dan keyakinan politik d. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul e. Kebebasan untuk menyampaikan pendapat f. Status kewarganegaraan g. Kebebasan untuk bergerak 6. Hak Atas Rasa Aman ....................................... Pasal 20-27 UU No. 30/1999 a. Hak untuk mencari suaka b. Perlindungan diri pribadi 7. Hak Atas Kesejahteraan ................................... Pasal 36-42 UU No. 30/1999 a. Hak milik b. Hak atas pekerjaan c. Hak untuk bertempat tinggal secara layak d. Jaminan sosial e. Perlindungan bagi kelompok rentan 8. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan ............. Pasal 43-44 UU No. 39/1999 a. Hak pilih dalam PEMILU b. Hak untuk berpendapat 9 Hak Wanita ...................................................... Pasal 45-51 UU No. 39/1999 a. Hak pengembangan pribadi dan persamaan dalam hukum b. Hak perlindungan reproduksi 10 Hak Anak ......................................................... Pasal 52-66 UU No. 39/1999 a. Hak hidup anak b. Status warga negara c. Hak anak yang rentan d. Hak pengembangan pribadi & perlindungan hukum e. Hak jaminan sosial anak Disamping hak, manusia juga mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara antara manusia yang satu dengan yang lainnya dan masyarakat secara keseluruhan. D. Ratifikasi Instrumen HAM internasional dan pelaporannya Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, Indonesia juga dituntut untuk berupaya dalam pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM. Komitmen tersebut salah satunya tercermin dari upaya bangsa Indonesia dalam mematuhi instrumen standar internasional dalam bentuk ratifikasi konvensi atau kovenan. Adapun Instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia: 1. Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, (diratifikasi dengan UU No. 59, 1958). 2. Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan - Convention on the Political Rights of Women (diratifikasi dengan UU No. 68, 1958) 3. Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi Terhadap Perempuan - Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (diratifikasi dengan UU No. 7, 1984) 4. Konvensi Hak Anak - Convention on the Rights of the Child (diratifikasi dengan Keppres No. 36, 1990) 5. Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Beracun serta Pemusnahannya - Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxic Weapons and on their Destruction (diratifikasi dengan Keppres No. 58, 1991) 6. Konvensi Internasional terhadap Anti Apartheid dalam Olah Raga - International Convention Against Apartheid in Sports (diratifikasi dengan UU No. 48, 1993) 7. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia - Torture Convention (diratifikasi dengan UU No. 5, 1998) 8. Konvensi Organisasi Buruh Internasional Nomor 87 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi - ILO Convention No. 87 concerning Freedom of Association and Protection on the Rights to Organise (diratifikasi dengan UU No. 83, 1998) 9. Konvensi internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial - Convention on the Elimination of Racial Discrimination (diratifikasi dengan UU No. 29, 1999) 10. Optional protocol Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi Terhadap Perempuan - Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (ditandatangani Maret 2000 tapi belum bisa diratifikasi) Daftar Konvensi ILO yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia: 1. Convention No. 19 Concerning Equality of Treatment for National and Foreign Workers as regards to Workmen's Compensation for Accident (Perlakuan yang Sama bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam Kecelakaan Kerja) diratifikasi 13 september 1927 2. Convention No. 27 Concerning the Marking at the Weight on Heavy Packages Transported by Vessels (Pemberian Tanda Berat pada Pengepakan Barang-Barang Besar yang Diangkut dengan Kapal) diratifikasi 31 Januari 1933. 3. Convention No. 29 Concerning Forced or Compulsary Labour (Kerja Paksa atau Kerja Wajib) diratifikasi 31 maret 1933 4. Convention No. 45 Concerning the Employment of Women on Underground Works in Mines of All Kinds (Kerja bagi Wanita pada Segala Macam Tambang di Bawah Tanah) diratifikasi tahun 1937. 5. Convention No. 98 Concerning the Application of the Principles of the Right to Organize and to Bargain Collectively (Penerapan Azas-Azas Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama) diratifikasi dengan Memori Penjelasan UU No. 3 tahun 1961 6. Convention No. 100 Concerning Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value (Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya) diratifikasi dengan Memori Penjelasan UU No. 3 tahun 1961 7. Convention NO. 120 Concerning Hygiene in Commerce and Offices (Higinitas dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor) diratifikasi 13 Juni 1969 8. Convention No. 106 Concerning Weekly Rest in Commerce and Office (Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor) diratifikasi dengan Memori Penjelasan UU No. 3 tahun 1969 9. Convention No. 144 Concerning Tripartite Consultation (Konsultasi Tripartit) diratifikasi dengan Keppres No. 26 tahun 1990 tanggal 18 Juni 1990 Lembaran Negara No. 30 10. Convention NO. 69 Concerninng Certification of Ships' Cooks (Sertifikasi Juru Masak di Kapal) diratifikasi dengan Penjelasan Keppres No. 4 tahun 1992 tanggal 4 Januari 1992 Lembaran Negara No. 4 11. Convention No. 87 Concerning Freedom of Association and Protection of the Right to Organise (Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi) diratifikasi dengan Keppres No. 83 tahun 1998 tanggal 5 Juni 1998 tentang Pengesahan Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi) 12. Convention No. 105 Concerning the Abolition of Forced Labour (Penghapusan Kerja Paksa) diratifikasi dengan UU No. 19 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999. 13. Convention No. 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan) diratifikasi dengan UU No. 21 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999 14. Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja ) diratifikasi dengan UU No. 20 tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999 15. Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to Abolish and to Eliminate the Worst Forms of Child Labor (Tindakan Segera untuk Menghapuskan dan mengurangi Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak) diratifikasi dengan UU No. 1 tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000 E. Mekanisme Penanganan Pelanggaran HAM Undang-Undang 39 Tahun 1999 pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa “pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dalam rangka menegakkan hak asasi manusia dan menjamin perlindungan bagi semua orang maka diperlukan upaya-upaya investigasi atau pencarian fakta manakala terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pencarian Fakta atau Investigasi biasa didefinisikan sebagai proses identifikasi sebuah pelanggaran HAM dan penyusunan fakta yang relevan dengan pelanggaran yang terjadi. Tujuan dari Investigasi atau pencarian fakta adalah: 1. Membantu menyembuhkan dan merehabilitasi korban 2. Pendampingan hukum (advokasi dan litigasi) 3. Mendorong perubahan kebijakan yang menghormati dan melindungi hak asasi manusia 4. memantau kepatuhan pemerintah terhadap persetujuan internasional di bidang HAM. 5. Sarana pendidikan publik 6. Bahan pelurusan sejarah Selanjutnya hasil investigasi didokumentasikan dalam suatu format yang menjamin analisis dan pelaporan yang memadai bagi upaya tindak lanjut. Dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia merupakan keseluruhan proses pengumpulan data, pengolahannya menjadi informasi dan perekaman secara sistematis semua informasi yang didapatkan, baik di lapangan maupun sumber- sumber lain, dalam sebuah investigasi atas kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM, hingga semua informasi yang didapat bisa dicari kembali dengan mudah. Untuk menjamin sistem dokumentasi yang baik maka dibutuhkan elemen-elemen sebagai berikut: 1. perlunya sarana perekaman data 2. cakupan informasi yang perlu didokumentasikan 3. kosakata terkendali 4. metoda perekaman, baik dalam bentuk teks bebas, formulir darurat (intake form) dan format standar 5. desain format Disain Format Standar Terdapat 3 hal yang mutlak harus dicatat: 1. Kasus pelanggarannya (event) Elemen data minimal adalah: bentuk pelanggaran HAM, alasan di balik pelanggaran, jenis atau kategorisasi pelanggaran HAM, waktu dan tempat kejadian, akibat yang ditimbulkan 2. Siapa yang menjadi korbannya (victim) Elemen data minimal adalah nama korban, jenis kelamin, status, dan pekerjaan korban 3. Siapa pelaku (perpetrator) Elemen data minimal adalah nama pelaku, jenis kelamin, jabatan/pangkat, hubungan pelaku dengan organisasi tertentu, kesatuan (apabila pelakunya dalah aparat negara) 4. Data pelengkap, antara lain: a. Nara sumber (source) b. intervensi (intervention). c. Informasi hukum (pennagkapan, penahanan, kondisi selama ditangkap, penasehat hukum, tipe pengadilan, prosedur hukum dll) d. kematian dan pembunuhan (tipe kematian, keterangan pejabat pemerintah atau organisasi tertentu, metode membunuh, keterangan kematian, hasil otopsi, permintaan penyelidikan/penyidikan) e. penyiksaan (tipe penyiksaan, interogasi, surat pengakuan, petugsa kesehatan, akibat fisik penyiksaan, akibat psikis penyiksaan, periode penyiksaan) f. perusakan atas hak milik dan perpindahan penduduk dll. Selain itu, hal-hal yang harus diperhatikan di dalam pencarian dan penyimpanan data pelanggaran HAM adalah: 1. Hubungan antar rekor (apakah merupakan kasus sederhana atau kompleks) 2. Sistem penomoran rekor 3. Sistem penyimpanan dan sarana temu kembali (apakah bersifat manual atau terkomputerisasi) 4. Alat pencarian kembali Pelaporan Sebagai negara pihak dari sejumlah Konvensi di bidang HAM, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan kondisi dan upaya yang dilakukan dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM dalam bentuk country report. Sistematika pelaporan yang dutujukan kepada badan-badan internasional adalah sebagai berikut: 1. Kondisi Wilayah dan Masyarakat 2. Struktur Politik secara Umum 3. Kerangka Hukum keseluruhan hak-hak yang harus dilindungi 4. Upaya-upaya yang telah dilakukan dan kendala pemenuhannya Laporan-laporan tersebut harus diajukan secara berkala sebagai wujud dari komitmen Indonesia sebagai negara pihak yangmendandatangani dan meratifikasi Konvensi. Dalam konteks nasional, fungsi laporan situasi dan kondisi HAM juga membantu pemerintah dalam mengkaji sejauh mana kebijakan yang telah diambil benra-benar menunjukkan keberpihakan pada upaya penegakan dan perlindungan HAM .


0 komentar:

Post a Comment