Ramadhan dan Rekonstruksi Spirit Kemanusiaan

Ramadhan dan Rekonstruksi Spirit Kemanusiaan
Abdul Halim
Menjalani Ramadhan, umat Islam di pelbagai belahan dunia, menyibukkan dirinya dalam, dengan melakukan aktivitas muhâsabah (introspeksi diri), seperti dzikir dan tadarrus (menyimak dan menghayati pesan alQurân), dengan harapan dapat menjumpai lailatul qadr. Suatu malam yang (berdasar makna lahiri teks alQurân) diindikasikan lebih baik dari seribu bulan. Dalam pelbagai pustaka keagamaan, makna lailatul qadr tak bisa dipahami secara kasat mata, melalui pendayagunaan akal budi (rasionalitas) semata, melainkan harus ditumbuhkan kesucian jiwa yang terefleksi dalam penglihatan ruhani akal (rasional-intuitif), yang melahirkan daya solutif bagi peningkatan kapasitas keberagamaan umat manusia (empirik).
Kesungguhan seorang Muslim (person maupun kolektif) untuk mendapati lailatul qadr, tak bisa dipandang sebelah mata. Di balik keyakinan teofanik (penampakan Tuhan), dapat ditemui relevansi makna lailatul qadr dalam memberikan upaya solutif mengatasi peliknya problematika keindonesiaan, mulai lumpur Lapindo, Sidoarjo, hingga kabut asap di Sumatera dan Kalimantan, yang berpotensi menihilkan eksistensi manusia sebagai sebaik-baiknya makhluk (ahsan-i taqwÃ).
Relevansi makna lailatul qadr dan persoalan keindonesiaan yang tiada henti, dapat ditelusuri memakai pendekatan kebahasaan atas istilah lailatul qadr, dan pengupayaan kemungkinan-kemungkinan historik yang ditimbulkannya, melalui metode taâwil (sebagai bentuk hermeneutika Islam).
Mula-mula, istilah lailatul qadr dimengerti umat Islam dari pengetengahan al-Qurâan (QS al-Qadr: 1-5). Digambarkan bahwa lailatul qadr memiliki ragam keistimewaan yang jarang ditemui: pertama, lailatul qadr adalah lebih baik daripada seribu bulan; kedua, pada lailatul qadr, turun para malaikat dan Ruh dengan ijin Tuhan, dengan membawa pelbagai perkara; dan ketiga, damailah orang yang mendapati lailatul qadr hingga terbit fajar.
Istilah lailatul qadr adalah bentukan dua kata dalam bahasa Arab yang, secara etimologis, dimaknai sebagai malam (layl) dan penetapan, kemuliaan, serta terbatas (al-qadr). Dari keragaman makna al-qadr, dapat dirangkai suatu makna atas istilah lailatul qadr, yakni suatu malam penetapan Allah SWT bagi perjalanan hidup manusia, yang dilajuri keberkahan dan kebijaksanaan dalam memutuskan hal-ihwal dirinya, hingga tiba masa kelahiran dirinya secara spiritual (wilÃdah rûhâniyyah). Dari pencapaian spiritualitas itu, rekonstruksi spirit kemanusiaan mendesak untuk diejawantahkan, tak sekadar bernuansa individual, melainkan mewujud dalam praksis sosial-kemasyarakatan.
Peminggiran privilege bulan Ramadhan berpotensi memunculkan kekeliruan pemaknaan, yang berujung pada kedangkalan pemahaman atas substansi makna lailatul qadr. Keterkaitan Ramadhan dengan lailatul qadr, dapat dirunut dari masa duapuluh hari pertama. Di tengah kekikiran diri untuk menjalin tali (shilât) kasih denganNya akibat perkara duniawi, Ramadhan hadir sebagai wahana pembakaran dan penyucian jiwa, dari debu-debu kehinaan ragawi. Melalui duapuluh hari Ramadhan, harus ditumbuhkan kesadaran bahwa puasa tak sekadar menahan diri dari kebutuhan jasmani, seperti makan dan minum, serta perkara yang membatalkannya an sich, melainkan upaya penjelajahan kekuatan ruhani menembus dinding-dinding imajiner yang memanipulasi kesadaran manusia, menuju pengalaman fana (hilangnya diri manusia). Dalam ungkapan Cak Nur, pengalaman fana diartikan sebagai hilangnya diri dalam kepasrahan pada keagungan Sang Empunya Semesta.
Pengalaman fana dapat diperoleh melalui upaya menyelami selubung simbolik lailatul qadr. Penyelaman ini mengisyaratkan adanya kesiap-sediaan rasio mentransformasikan diri melampaui alam simbolik menuju alam substansial di balik permisalannya. Ibn ‘Arabi (1165-1240) mengatakan bahwa setiap hal yang tampak, harfiah, eksternal, eksoteris (zhâhir) selalu terkait dengan sesuatu yang tersembunyi, spiritual, internal, esoterik (bâthin). Dibutuhkan keluasan khazanah, kreativitas, dan pemahaman menyeluruh, yang didukung oleh piranti ruhaniah dalam menyingkap makna lailatul qadr.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, maka lailatul qadr tak segan-segan datang menemui diri kita. Pada saat itu, kehadirannya meniscayakan suatu pengalaman kefanaan yang menandai lahirnya permulaan spiritual. Quraish Shihab (2002: 314) menyebut bahwa seseorang yang menjumpai lailatul qadr, menemukan saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak masa itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan hingga terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di kemudian hari.
Relevansi Puasa untuk kemanusiaan
Puasa Ramadhan memerankan manusia dalam pertaruhan diri untuk bersiap menderita. Kesiapan yang bertolak dari kemungkinan dan ketidakmungkinan masa depannya, dengan melakukan upaya-upaya pelampauan ragawi menuju taraf ruhani yang membebaskan. Sebagaimana diketahui, puasa meniscayakan diri untuk menahan lapar dan dahaga, serta dorongan-dorongan jasmani yang menelantarkan substansi puasa, seperti bersenggama, membincang urusan orang lain (ghibah), dan sebagainya, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Pada titik ini, muncul pertanyaan, apakah puasa berimplikasi sosial? Lantas, apa relevansi lailatul qadr dalam rumah keindonesiaan?
Di balik keikhlasan diri untuk menjalankan puasa, dapat dimengerti bahwa puasa tak sekadar membawa imbas kesalehan personal, tetapi juga kesalehan sosial. Secara personal, puasa menjadi ajang “percakapan” manusia dengan Tuhannya. Namun, secara sosial, puasa mendulang tanggung jawab yang tak bisa dianggap remeh.
Di tengah nestapa kolektif yang dialami masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur, akibat lumpur Lapindo, dan kepekatan kabut asap yang mencemaskan kesehatan publik di Sumatera dan Kalimantan, pengalaman kefanaan (sebagai bentuk pencerahan spiritual) harus diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan faktual masyarakat (etika sosial), seperti pencegahan busung lapar, penyediaan pendidikan berkualitas yang merakyat, dan penanganan korban bencana secara efektif dan efisien, dengan bertolak pada kemuliaan harkat dan martabat kemanusiaan universal, yang tak hanya relevan dalam kekinian, tetapi juga mampu menyodorkan maslahat bagi perbaikan kualitas kehidupan masyarakat di masa mendatang. Di sinilah relevansi makna lailatul qadr.
Dalam konteks keindonesiaan, urgensi makna lailatul qadr secara sosial dapat ditelusuri pada hakikat penciptaan manusia, melalui pengasahan sensitivitas religius atas problem-problem kemanusiaan (habl min alAllâh sekaligus habl min alnâs), yang diwujudkan melalui program-program emansipatif-partisipatoris, yang diproyeksikan bagi pelaksanaan strategi pembangunan yang memihak pada kaum papa, yang tergusur, dan dipinggirkan dari hak-hak dasariahnya.
Pada akhirnya, dimensi sosial puasa dan refleksi lailatul qadr sepi makna tanpa disertai kesungguhan diri untuk memperbaiki niat dan kehendak (secara personal-) kolektif dalam menganyam-bangun rumah keindonesiaan. Theodor Herzl (1860-1904), seorang ahli sejarah dan kebudayaan, mengatakan bahwa “suatu bangsa adalah suatu kelompok yang menaruh kemungkinan dan ketidakmungkinan historisnya dalam rajut kohesi sosial yang memiliki kesamaan visi, yakni membebaskan manusia dari kemelaratan dan ketidakadilan sosial”. Sebagaimana diketahui, kemiskinan adalah fakta yang tak jauh dari kesadaran harian kita.
Dengan demikian, fajar baru keindonesiaan yang terpancar dari kelahiran spiritual (wilâdah rûhâniyyah) menjumpai lailatul qadr mendapat maknanya di tengah gurun pasir pengharapan akan kehidupan yang lebih baik, yang tanpa henti disuarakan oleh kepapaan fakir miskin yang tersebar luas di pedesaan maupun perkotaan.

0 komentar:

Post a Comment