KORUPTOR : ANCAMAN NYATA KEUTUHAN NKRI
HAMPIR satu abad lalu muncul gerakan yang bertujuan menghimpun dan membangkitkan kesadaran dan semangat kebangsaan (nasionalisme). Setidaknya, gerakan itu ditandai dengan lahirnya organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908. Gerakan itu semakin menemukan bentuk dan tempatnya dalam Kongres Pemuda 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Ketika itu, dengan keberagaman latar belakang, putra-putri bangsa berikrar memiliki nusa, bangsa, dan bahasa yang satu, yaitu Indonesia.
Kemunculan nasionalisme Indonesia dipandang Benedict Anderson (1983) sebagai sebuah komunitas khayalan (an imagined community). Bagi Anderson, nasionalisme Indonesia terbentuk dari adanya suatu khayalan akan suatu bangsa yang mandiri dan bebas dari kekuasaan kolonial, suatu bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan media komunikasi, yakni bahasa Indonesia (Kartono Mohamad, 2003).
Sekalipun ada kalangan yang mempertanyakan relevansi konsep Anderson dalam konteks kekinian Indonesia, konsep imagined community masih mungkin dipakai terutama dalam mewujudkan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bebas dari korupsi. Kalau pada zaman kolonial yang harus dihadapi adalah kaum penjajah, saat ini koruptor harus ditempatkan sebagai musuh bersama. Alasannya, pada batas-batas tertentu, dampak perbuatan para koruptor tidak kalah berbahaya dibandingkan penjajah. Oleh karenanya, sebagai negara terkorup di Asia (dan lima besar kelima terkorup di dunia), gerakan antikorupsi menjadi amat pantas dijadikan sebagai landasan nasionalisme baru Indonesia.
Pemikiran untuk menjadikan gerakan antikorupsi sebagai landasan nasionalisme baru Indonesia amat terkait dengan pengalaman pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan sejak tahun 1950-an. Misalnya, Jaksa Agung Soeprapto (1950-1959) berani melakukan langkah besar dengan memeriksa menteri dan tokoh-tokoh kunci partai politik besar yang terindikasi melakukan korupsi. Tidak hanya itu, di dalam tubuh militer, pada tahun 1958 Kepala Staf Angkatan Darat AH Nasution melakukan pembersihan di tubuh Angkatan Darat dengan memutasikan sejumlah Panglima Daerah yang diduga melakukan korupsi.
Gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pada periode 1950-an mengalami kemunduran sepanjang kekuasaan Orde Lama. Sepanjang periode ini, demi kepentingan revolusi, Presiden Soekarno dapat mencampuri urusan peradilan. Sekalipun terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1966, keadaan tidak bertambah baik. Kehadiran Undang-Undang No 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi gagal menghambat laju nafsu serakah para koruptor. Sepanjang kekuasaan Soeharto, istana dan kroni-kroninya berkembang menjadi rezim kleptokrasi yang menguasai hampir semua sumber ekonomi vital negara.
Ketika Soeharto berhenti, perang melawan korupsi menjadi sebuah keniscayaan. Langkah ke arah itu dimulai dengan pengesahan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dukungan ke arah itu makin kuat dengan pengesahan Undang-Undang No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, untuk mengatasi problem pemberantasan korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum (seperti kepolisian dan kejaksaan), disahkan Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sekalipun sudah banyak aturan hukum, praktik korupsi makin meluas baik kualitas maupun kuantitasnya memasuki sendi-sendi kehidupan bernegara. Pada titik itu, gagasan gerakan antikorupsi sebagai landasan nasionalisme baru menjadi amat menarik. Alasannya amat jelas, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Melihat dampak yang ditimbulkan, tindak pidana korupsi tidak hanya sekadar extra ordinary crime tetapi juga crimes again humanity. Dalam pengertian itu, korupsi bisa lebih berbahaya dari penjajahan yang dilakukan oleh kaum kolonial. Masalahnya, bagaimana membangun nasionalisme yang dilandasi oleh semangat antikorupsi?
Mengacu kepada an imagined community Anderson, nasionalisme baru Indonesia mungkin dibentuk dari adanya suatu khayalan akan suatu masyarakat yang mandiri dan bebas dari cengkeraman para koruptor. Gagasan itu hanya mungkin dilakukan dengan menempatkan koruptor sebagai musuh bersama (common enemy).
Pertama, harus ada keberanian mengoreksi semua aturan hukum yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi. Sampai sejauh ini, aturan hukum yang ada masih terdapat loop-holes, inkonsistensi, dan tumpang-tindih antara yang satu dengan lainnya. Problem di tingkat aturan hukum tidak dapat dikatakan sepenuhnya terjadi karena kealpaan pembentuk peraturan perundang-undangan. Argumentasinya karena meluasnya praktik korupsi pada hampir semua institusi negara, aturan hukum harus direkayasa sedemikian rupa agar pembentuk peraturan perundang-undangan dapat terhindar dari kemungkinan menjadi pesakitan.
Untuk mengoreksi aturan hukum yang tidak mendukung pemberantasan korupsi, pembentuk peraturan perundang-undangan mesti memelihara integritas personal dan integritas institusi untuk memberantas korupsi.
Kedua, perubahan paradigma aparat penegak hukum. Selama ini, dalam banyak kasus, pengungkapan korupsi justru membuka peluang terjadinya praktik korupsi baru di lingkungan aparat penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian aparat penegak hukum melakukan transaksi (tawar-menawar) dengan pelaku korupsi agar kasus yang sedang ditangani bebas dari penjatuhan pidana. Contoh yang sering dikemukakan, indikasi suap dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Bahkan, karena pertimbangan tertentu, penegak hukum memunculkan 'terobosan baru' untuk menghentikan sebuah kasus.
Ketiga, di tingkat masyarakat harus ada kesadaran kolektif baru bahwa praktik korupsi tidak kalah jahatnya dibandingkan kejahatan kaum penjajah. Kalau itu bisa dilakukan, sanksi sosial lebih mudah kepada pelaku korupsi. Untuk mendukung pembangunan kesadaran kolektif baru masyarakat, media massa bisa mengambil peran strategis, misalnya dengan membatasi ruang untuk mewartakan (sisi positif) tokoh publik yang tersangkut kasus korupsi. Kalaupun tetap akan diberitakan, fokusnya lebih ditekankan pada kasus korupsi yang dihadapinya tokoh publik bersangkutan.
Terkait dengan kesadaran kolektif baru masyarakat, perkembangan tidak menggembirakan justru melanda sebagian akademisi. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak kalangan kampus yang menyediakan diri menjadi saksi yang meringankan (a de charge) orang-orang yang tersangkut kasus korupsi. Walaupun secara hukum tidak dilarang, melihat semakin meluasnya praktik korupsi, akademisi yang selama ini telah menyediakan diri menjadi saksi a de charge sebaiknya meninjau ulang sikap itu.
Kini, kalau memang ada political will untuk menjadikan gerakan antikorupsi sebagai nasionalisme baru Indonesia, semua elemen bangsa harus menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Prinsipnya, kemerdekaan dari korupsi harus segera diupayakan. Untuk itu, para koruptor harus dienyahkan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Kalau tidak, negeri ini akan ditenggelamkan oleh para koruptor
Kemunculan nasionalisme Indonesia dipandang Benedict Anderson (1983) sebagai sebuah komunitas khayalan (an imagined community). Bagi Anderson, nasionalisme Indonesia terbentuk dari adanya suatu khayalan akan suatu bangsa yang mandiri dan bebas dari kekuasaan kolonial, suatu bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan media komunikasi, yakni bahasa Indonesia (Kartono Mohamad, 2003).
Sekalipun ada kalangan yang mempertanyakan relevansi konsep Anderson dalam konteks kekinian Indonesia, konsep imagined community masih mungkin dipakai terutama dalam mewujudkan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bebas dari korupsi. Kalau pada zaman kolonial yang harus dihadapi adalah kaum penjajah, saat ini koruptor harus ditempatkan sebagai musuh bersama. Alasannya, pada batas-batas tertentu, dampak perbuatan para koruptor tidak kalah berbahaya dibandingkan penjajah. Oleh karenanya, sebagai negara terkorup di Asia (dan lima besar kelima terkorup di dunia), gerakan antikorupsi menjadi amat pantas dijadikan sebagai landasan nasionalisme baru Indonesia.
Pemikiran untuk menjadikan gerakan antikorupsi sebagai landasan nasionalisme baru Indonesia amat terkait dengan pengalaman pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan sejak tahun 1950-an. Misalnya, Jaksa Agung Soeprapto (1950-1959) berani melakukan langkah besar dengan memeriksa menteri dan tokoh-tokoh kunci partai politik besar yang terindikasi melakukan korupsi. Tidak hanya itu, di dalam tubuh militer, pada tahun 1958 Kepala Staf Angkatan Darat AH Nasution melakukan pembersihan di tubuh Angkatan Darat dengan memutasikan sejumlah Panglima Daerah yang diduga melakukan korupsi.
Gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pada periode 1950-an mengalami kemunduran sepanjang kekuasaan Orde Lama. Sepanjang periode ini, demi kepentingan revolusi, Presiden Soekarno dapat mencampuri urusan peradilan. Sekalipun terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1966, keadaan tidak bertambah baik. Kehadiran Undang-Undang No 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi gagal menghambat laju nafsu serakah para koruptor. Sepanjang kekuasaan Soeharto, istana dan kroni-kroninya berkembang menjadi rezim kleptokrasi yang menguasai hampir semua sumber ekonomi vital negara.
Ketika Soeharto berhenti, perang melawan korupsi menjadi sebuah keniscayaan. Langkah ke arah itu dimulai dengan pengesahan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dukungan ke arah itu makin kuat dengan pengesahan Undang-Undang No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, untuk mengatasi problem pemberantasan korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum (seperti kepolisian dan kejaksaan), disahkan Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sekalipun sudah banyak aturan hukum, praktik korupsi makin meluas baik kualitas maupun kuantitasnya memasuki sendi-sendi kehidupan bernegara. Pada titik itu, gagasan gerakan antikorupsi sebagai landasan nasionalisme baru menjadi amat menarik. Alasannya amat jelas, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Melihat dampak yang ditimbulkan, tindak pidana korupsi tidak hanya sekadar extra ordinary crime tetapi juga crimes again humanity. Dalam pengertian itu, korupsi bisa lebih berbahaya dari penjajahan yang dilakukan oleh kaum kolonial. Masalahnya, bagaimana membangun nasionalisme yang dilandasi oleh semangat antikorupsi?
Mengacu kepada an imagined community Anderson, nasionalisme baru Indonesia mungkin dibentuk dari adanya suatu khayalan akan suatu masyarakat yang mandiri dan bebas dari cengkeraman para koruptor. Gagasan itu hanya mungkin dilakukan dengan menempatkan koruptor sebagai musuh bersama (common enemy).
Pertama, harus ada keberanian mengoreksi semua aturan hukum yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi. Sampai sejauh ini, aturan hukum yang ada masih terdapat loop-holes, inkonsistensi, dan tumpang-tindih antara yang satu dengan lainnya. Problem di tingkat aturan hukum tidak dapat dikatakan sepenuhnya terjadi karena kealpaan pembentuk peraturan perundang-undangan. Argumentasinya karena meluasnya praktik korupsi pada hampir semua institusi negara, aturan hukum harus direkayasa sedemikian rupa agar pembentuk peraturan perundang-undangan dapat terhindar dari kemungkinan menjadi pesakitan.
Untuk mengoreksi aturan hukum yang tidak mendukung pemberantasan korupsi, pembentuk peraturan perundang-undangan mesti memelihara integritas personal dan integritas institusi untuk memberantas korupsi.
Kedua, perubahan paradigma aparat penegak hukum. Selama ini, dalam banyak kasus, pengungkapan korupsi justru membuka peluang terjadinya praktik korupsi baru di lingkungan aparat penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian aparat penegak hukum melakukan transaksi (tawar-menawar) dengan pelaku korupsi agar kasus yang sedang ditangani bebas dari penjatuhan pidana. Contoh yang sering dikemukakan, indikasi suap dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Bahkan, karena pertimbangan tertentu, penegak hukum memunculkan 'terobosan baru' untuk menghentikan sebuah kasus.
Ketiga, di tingkat masyarakat harus ada kesadaran kolektif baru bahwa praktik korupsi tidak kalah jahatnya dibandingkan kejahatan kaum penjajah. Kalau itu bisa dilakukan, sanksi sosial lebih mudah kepada pelaku korupsi. Untuk mendukung pembangunan kesadaran kolektif baru masyarakat, media massa bisa mengambil peran strategis, misalnya dengan membatasi ruang untuk mewartakan (sisi positif) tokoh publik yang tersangkut kasus korupsi. Kalaupun tetap akan diberitakan, fokusnya lebih ditekankan pada kasus korupsi yang dihadapinya tokoh publik bersangkutan.
Terkait dengan kesadaran kolektif baru masyarakat, perkembangan tidak menggembirakan justru melanda sebagian akademisi. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak kalangan kampus yang menyediakan diri menjadi saksi yang meringankan (a de charge) orang-orang yang tersangkut kasus korupsi. Walaupun secara hukum tidak dilarang, melihat semakin meluasnya praktik korupsi, akademisi yang selama ini telah menyediakan diri menjadi saksi a de charge sebaiknya meninjau ulang sikap itu.
Kini, kalau memang ada political will untuk menjadikan gerakan antikorupsi sebagai nasionalisme baru Indonesia, semua elemen bangsa harus menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Prinsipnya, kemerdekaan dari korupsi harus segera diupayakan. Untuk itu, para koruptor harus dienyahkan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Kalau tidak, negeri ini akan ditenggelamkan oleh para koruptor
0 komentar:
Post a Comment